Wednesday, September 27, 2017

MAKALAH DEMOKRASI INDONESIA


BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Menurut Budimansyah dan Sudirwo (2009:65), demokrasi merupakan kata yang didambakan oleh semua orang dan semua negara karena kata demokrasi menggambarkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Demokrasi berasal dari dua kata “demos” yang berarti rakyat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. “Demos cratos” atau “demos cratein” dalam bahasa Yunani yang berarti demokrasi dalam bahasa Indonesia adalah kedaulatan atau kekuasaan di tangan rakyat. Pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, (government of the people, by the people, and for the people. Abraham Lincoln).
Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yakni “ demos” dan “kratein”. Secara terminologis, Abraham Lincoln mantan Presiden Amerika Serikat, menyatakan bahwa “demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” atau “the government from the people, by the people, and for the people”. Menurut Sanusi (2006), mengidentifikasi adanya sepuluh pilar demokrasi konstitusional menurut UUD 1945, yakni : ” Demokrasi yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Demokrasi Dengan Kecerdasan, Demokrasi yang Berkedaulatan Rakyat, Demokrasi dengan “Rule of Law”, Demokrasi dengan Pembagian Kekuasaan Negara, Demokrasi dengan Hak Azasi Manusia, Demokrasi dengan Pengadilan yang Merdeka, Demokrasi dengan Otonomi Daerah, Demokrasi Dengan Kemakmuran, dan Demokrasi yang Berkeadilan Sosial “.
Negara Indonesia merupakan negara yang berkomitmen untuk menjadikan demokrasi berkembang di negara ini. Hal ini disebabkan, demokrasi memiliki pemahaman bahwa setiap individu sangat dihargai keberadaannya dalam berpartisipasi menjalankan kehidupan bernegara secara luas dan maksimal. Melalui pemahaman tersebut, dapat diketahui bahwa negara Indonesia sangat menghargai keberadaan rakyatnya. Karena itu, demokrasi perlu ditumbuhkan, dipelihara, dikembangkan, dan dihormati oleh setiap rakyat Indonesia.
Setiap negara memiliki cirri khas dalam pelaksanaan demokrasinya, termasuk pula negara Indonesia. Hal ini ditentukan oleh sejarah negara yang bersangkutan, kebudayaan, pandangan hidup, serta tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian, pada setiap negara terdapat corak khas demokrasi yang tercermin pada pola sikap,keyakinan dan perasaan tertentu yang mendasari, mengarahkan, dan memberi arti pada tingkah laku dan proses berdemokrasi dalam suatu sistem politik. Menurut Rahayu (2013:54), pembahasan tentang peranan negara dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari telaah tentang demokrasi dan hal ini karena dua alasan. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental sebagai telah ditunjukkan oleh hasil studi UNESCO pada awal 1950-an yang mengumpulkan lebih dari 100 Sarjana Barat dan Timur, sementara di negara-negara demokrasi itu pemberian peranan kepada negara dan masyarakat hidup dalam porsi berbeda-beda (kendati sama-sama negara demokrasi). Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya tetapi ternyata demokrasi itu berjalan dalam jalur yang berbeda-beda (Rais, 1955:1).
Menurut Rahayu (2013:54), dalam hubungannya dengan implementasi ke dalam sistem pemerintahan, demokrasi juga melahirkan sistem yang bermacam-macam seperti: pertama, sistem presidensial yang menyejajarkan antara parlemen dan presiden dengan memberi dua kedudukan kepada presiden yakni sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kedua, sistem parlementer yang meletakkan pemerintah dipimpin oleh perdana menteri yang hanya berkedudukan sebagai kepala pemerintahan dan bukan kepala negara, sebab kepala negaranya bisa diduduki oleh raja atau presiden yang hanya menjadi symbol kedaulatan dan persatuan. Ketiga, sistem referendum yang meletakkan pemerintah sebagai bagian (badan pekerja) dari parlemen. Di beberapa negara ada yang menggunakan sistem campuran antara presidensial dengan parlementer, yang antara lain dapat dilihat dari sistem ketatanegaraan di Prancis atau di negara Indonesia berdasarkan UUD 1945. Dengan alasan tersebut menjadi jelas bahwa asas demokrasi yang hampir sepenuhnya disepakati sebagai model terbaik bagi dasar penyelenggaran negara ternyata memberikan implikasi yang berbeda di antara pemakai-pemakainya bagi peranan negara.
Dengan pernyataan di atas, tidak menutup kemungkinan bahwa negara Indonesia menerapkan sistem demokrasi yang berciri khas negara Indonesia sendiri berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Telah menjadi bagian dari hak dan kewajiban setiap rakyat Indonesia yang juga meliputi mahasiswa untuk mengetahui dan mengamalkan sistem demokrasi secara bijaksana di negara Indonesia. Oleh karena itu, penulis akan menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan Demokrasi Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka masalah-masalah yang akan dikaji dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      seperti apakah bentuk-bentuk demokrasi?
2.      seperti apakah nilai-nilai demokrasi?
3.      seperti apakah prinsip dan parameter demokrasi?
4.      bagaimanakah perkembangan demokrasi di Indonesia?
5.      bagaimanakah demokrasi pasca reformasi di Indonesia?
6.      bagaimanakah konsep dan urgensi demokrasi yang bersumber dari Pancasila?
7.      mengapa diperlukan demokrasi yang bersumber dari Pancasila?
8.      bagaimanakah sumber historis, sosiologis, dan politik tentang demokrasi yang bersumber dari Pancasila?
9.      bagaimanakah dinamika dan tantangan demokrasi yang bersumber dari Pancasila?
10.  bagaimanakah esensi dan urgensi Demokrasi Pancasila?
11.  seperti apakah pendidikan demokrasi?

1.3 Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penulis dapat menjelaskan mengenai tujuan dari pembuatan makalah ini sebagai berikut:
1.      mengetahui bentuk-bentuk demokrasi;
2.      mengetahui nilai-nilai demokrasi;
3.      mengetahui prinsip dan parameter demokrasi;
4.      mengetahui perkembangan demokrasi di Indonesia;
5.      mengetahui demokrasi pasca reformasi di Indonesia;
6.      mengetahui konsep dan urgensi demokrasi yang bersumber dari Pancasila;
7.      mengetahui alasan diperlukan demokrasi yang bersumber dari Pancasila;
8.      mengetahui sumber historis, sosiologis, dan politik tentang demokrasi yang bersumber dari Pancasila;
9.      mengetahui dinamika dan tantangan demokrasi yang bersumber dari Pancasila;
10.  mengetahui esensi dan urgensi demokrasi Pancasila; dan
11.  mengetahui pendidikan demokrasi.

1.4 Manfaat
Makalah ini memiliki beberapa manfaat bagi penulis secara pribadi maupun bagi para pembaca antara lain:
1.      menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Demokrasi Indonesia;
2.      menjadikan makalah tentang Demokrasi Indonesia ini sebagai literatur-literatur untuk pembuatan makalah selanjutnya bagi penulis maupun pembaca;
3.      sebagai rangkuman materi-materi dari sumber internet, buku, maupun jurnal dalam bentuk tulisan;
4.      dijadikan sebagai bahan pembelajaran dalam pembuatan makalah selanjutnya; dan
5.      dijadikan sebagai cermin diri bagi para pembaca, pemerintah, maupun masyarakat luas setelah membaca dan memahami penjelasan tentang Demokrasi Indonesia.


BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Bentuk-Bentuk Demokrasi
Menurut Torres demokrasi dapat dilihat dari dua yaitu pertama, formal democracy dan kedua, substantive democracy, yaitu menunjuk pada bagaimana proses demokrasi itu dilakukan (Winataputra, 2006).
Formal democracy menunjuk pada demokrasi dalam arti sistem pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai pelaksanaan demokrasi di berbagai negara. Dalam suatu negara misalnya dapat diterapkan demokrasi dengan menerapkan sistem presidensial, atau sistem parlementer.
1.      Sistem Presidensial: sistem ini menekankan pentingnya pemilihan presiden secara langsung, sehingga presiden terpilih mendapatkan mandat secara langsung dari rakyat.
2.      Sistem Parlementer: sistem ini menerapkan model hubungan yang menyatu antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Kepala eksekutif berada di tangan seorang perdana menteri. Adapun kepala negara berada di tangan raja atau ratu. Misalnya di negara Inggris.
Selain bentuk demokrasi sebagaimana dipahami di atas terdapat beberapa sistem demokrasi yang mendasarkan pada prinsip filosofi negara.
1.      Demokrasi Perwakilan Liberal
Prinsip demokrasi ini didasarkan pada suatu filsafat kenegaraan bahwa manusia adalah sebagai makhluk individu yang bebas. Oleh karena itu, dalam sistem demokrasi ini kebebasan individu sebagai dasar fundamental dalam pelaksanaan demokrasi.
Konsekuensi dari implementasi sistem dan prinsip demokrasi ini adalah berkembang persaingan bebas, terutama dalam kehidupan ekonomi sehingga akibatnya individu yang tidak mampu menghadapi persaingan tersebut akan tenggelam. Akibatnya kekuasaan kapitalislah yang menguasai kehidupan negara, bahkan berbagai kebijakan dalam negara sangat ditentukan oleh kekuasaan kapital. Hal ini sesuai semangat pasar bebas yang dijiwai oleh filosofi demokrasi liberal, maka kaum kapitalislah yang berkuasa. Kapitalisme telah menjadi fenomena global dan dapat mengubah masyarakat di seluruh dunia baik dalam bidang social, politik maupun kebudayaan (Berger, 1998).
2.      Demokrasi Satu Partai dan Komunisme
Menurut Rahayu (2013:62), demokrasi satu partai ini lazimnya dilaksanakan di negara-negara komunis seperti Rusia, China, Vietnam, dan lainnya. Kebebasan formal berdasarkan demokrasi liberal akan menghasilkan kesenjangan kelas yang semakin lebar dalam masyarakat, akhirnya kapitalislah yang menguasai negara.

2.2 Nilai-Nilai Demokrasi
Henry B. Mayo telah mencoba untuk memerinci nilai-nilai ini, dengan catatan tentu saja tidak berarti bahwa setiap masyarakat demokratis semua nilai-nilai ini, melainkan tergantung kepada perkembangan sejarah, aspirasi dan budaya politik masing-masing. Berikut adalah nilai-nilai yang diutarakan Henry B. Mayo.
1.      Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga.
2.      Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dan dalam suatu masyarakat yang sedang berubah.
3.      Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur.
4.      Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum.
5.      Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman.
6.      Menjamin tegaknya keadilan.
Menurut Srijanti et al. (2011:53), untuk menumbuhkan keyakinan akan baiknya sistem demokrasi, maka harus ada pola perilaku yang menjadi tuntunan atau norma/nilai-nilai demokrasi yang diyakini masyarakat. Nilai-nilai dari demokrasi membutuhkan hal-hal berikut:
1.      kesadaran akan pluralism;
2.      sikap yang jujur dan pikiran yang sehat;
3.      demokrasi membutuhkan kerja sama antarwarga masyarakat dan sikap serta itikad baik;
4.      demokrasi membutuhkan sikap kedewasaan; dan
5.      demokrasi membutuhkan pertimbangan moral.

2.3 Prinsip dan Parameter Demokrasi
Suatu negara atau pemerintahan dikatakan demokratis apabila dalam sistem pemerintahannya mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi. Menurut Robert A. Dahl terdapat tujuh prinsip demokrasi yang harus ada dalam sistem pemerintahan, yaitu:
1.      adanya kontrol atau kendali atas keputusan pemerintahan;
2.      adanya pemilihan yang teliti dan jujur;
3.      adanya hak memilih dan dipilih;
4.      adanya kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman;
5.      adanya kebebasan mengakses informasi; dan
6.      adanya kebebasan berserikat yang terbuka.
Menurut Srijanti et al. (2011:56), di Indonesia, prinsip-prinsip negara demokratis telah dilakukan, walaupun masih ada beberapa kelemahan dalam pelaksanaannya. Untuk mengukur seberapa jauh kadar demokrasi sebuah negara, diperlukan suatu ukuran atau parameter. Parameter untuk mengukur demokrasi dapat dilihat dari empat hal, yaitu:
1.      pembentukan pemerintahan melalui pemilu;
2.      sistem pertanggungjawaban pemerintahan;
3.      pengaturan sistem dan distribusi kekuasaan negara; dan
4.      pengawasan oleh rakyat.

2.4 Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Menurut Rahayu (2013:64), perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi dalam empat periode:
1.      Periode 1945-1959, masa demokrasi parlementer yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai. Pada masa ini kelemahan demokrasi parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan DPR. Akibatnya persatuan yang digalang selama perjuangan melawan musuh bersama akan menjadi kendor.
2.      Periode 1959-1965, masa demokrasi terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional dan lebih menampilkan beberapa aspek dari demokrasi rakyat. Masa ini ditandai dengan dominasi presiden, terbatasnya peran partai politik, perkembangan pengaruh komunis, dan peran ABRI sebagai unsure social-politik, semakin luas.
3.      Periode 1966-1998, masa demokrasi Pancasila era Orde Baru yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial. Landasan formal periode ini adalah Pancasila, UUD 1945, dan ketetapan MPRS/MPR dalam rangka untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945 yang terjadi di masa demokrasi terpimpin. Namun, dalam perkembangannya peran presiden semakin dominan terhadap lembaga-lembaga negara yang lain. Melihat praktik demokrasi pada masa ini, nama Pancasila hanya digunakan sebagai legitimasi politis penguasa saat itu, sebab kenyataannya yang dilaksanakan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
4.      Periode 1999-sekarang, masa demokrasi Pancasila era Reformasi dengan berakar pada kekuatan multi partai yang berusaha mengembalikan perimbangan kekuatan antar lembaga negara, antara eksekutif, legislative, dan yudikatif. Pada masa ini peran partai politik kembali menonjol, sehingga iklim demokrasi memperoleh nafas baru. Jika esensi demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat, maka praktik demokrasi tatkala pemilu memang demikian, namun dalam pelaksanaannya setelah pemilu, banyak kebijakan tidak mendasarkan pada kepentingan rakyat, melainkan lebih kea rah pembagian kekuasaan antara presiden dan partai politik dalam DPR. Dengan perkataan lain model demokrasi era reformasi dewasa ini, kurang mendasarkan pada keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia (walfare state).

2.5 Demokrasi Pasca Reformasi di Indonesia
Dewasa ini hampir seluruh negara di dunia mengklaim menjadi penganut setia paham demokrasi. Namun demikian, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Amos J. Peaslee bahwa dalam kenyataannya demokrasi dipraktikkan di seluruh dunia secara berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Setiap negara dan orang menerapkan definisi demokrasi menurut criteria masing-masing, bahkan negara komunis seperti RRC, Kuba, Vietnam juga menyatakan sebagai negara demokrasi.
Menurut Rahayu (2013:67), prinsip pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat tersebut bagi negara Indonesia terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV.
Menurut Rahayu (2013:68), Pembukaan UUD 1945 dalam ilmu hukum memiliki kedudukan sebagai “staatsfundamentalnorm”, oleh karena itu merupakan sumber hukum positif dalam negara Republik Indonesia. Maka, prinsip demokrasi di negara Indonesia selain tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 juga berdasarkan pada dasar filsafat negara Pancasila sila keempat yaitu kerakyatan. Selain itu, dasar pelaksanaan demokrasi Indonesia juga secara eksplisit tercantum dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Prinsip demokrasi tersebut secara eksplisit juga dijabarkan dalam Pasal UUD 1945 hasil Amandemen dengan mewujudkan sistem penentuan kekuasaan pemerintahan negara secara langsung, yaitu melibatkan rakyat secara langsung dalam memilih presiden dan wakil presiden Pasal 6A ayat (1). Sistem demokrasi dalam penyelenggaraan negara Indonesia juga diwujudkan dalam penentuan kekuasaan negara, yaitu dengan menentukan dan memisahkan tentang kekuasaan eksekutif Pasal 4 sampai dengan Pasal 16, legislatif Pasal 19 sampai dengan Pasal 22, dan yudikatif Pasal 24 UUD 1945.

2.6 Konsep dan Urgensi Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
2.6.1 Pengertian Demokrasi
Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yakni “demos” dan “kratein”. Dalam “The Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Hornby dkk, 1988), dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan “democracy” adalah: (1) country with principles of government in which all adult citizens share through their ellected representatives; (2) country with government which encourages and allows rights of citizenship such as freedom of speech, religion, opinion, and association, the assertion of rule of law, majority rule, accompanied by respect for the rights of minorities. (3) society in which there is treatment of each other by citizens as equals”.
Dari kutipan pengertian tersebut tampak bahwa kata demokrasi merujuk kepada konsep kehidupan negara atau masyarakat di mana warganegara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih; pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara, beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan ”rule of law”, adanya pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan masyarakat yang warganegaranya saling memberi perlakuan yang sama. Pengertian tersebut pada dasarnya merujuk kepada ucapan Abraham Lincoln mantan Presiden Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa “demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” atau “the government from the people, by the people, and for the people”.
Menurut CICED (1999), bahwa demokrasi sebagai konsep yang bersifat multidimensional, yakni secara filosofis demokrasi sebagai ide, norma, dan prinsip; secara sosiologis sebagai sistem sosial; dan secara psikologis sebagai wawasan, sikap, dan perilaku individu dalam hidup bermasyarakat.
2.6.2 Tiga Tradisi Pemikiran Politik Demokrasi
Secara konseptual, seperti dikemukakan oleh Carlos Alberto Torres (1998) demokrasi dapat dilihat dari tiga tradisi pemikiran politik, yakni “classical Aristotelian theory, medieval theory, contemporary doctrine”. Dalam tradisi pemikiran Aristotelian demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan, yakni “…the government of all citizens who enjoy the benefits of citizenship”, atau pemerintahan oleh seluruh warganegara yang memenuhi syarat kewarganegaraan. Sementara itu dalam tradisi “medieval theory” yang pada dasarnya menerapkan “Roman law” dan konsep “popular souverignty” menempatkan “…a foundation for the exercise of power, leaving the supreme power in the hands of the people”, atau suatu landasan pelaksanaan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Sedangkan dalam “contemporary doctrine of democracy”, konsep “republican” dipandang sebagai “…the most genuinely popular form of government”, atau konsep republik sebagai bentuk pemerintahan rakyat yang murni.
Lebih lanjut, Torres (1998) memandang demokrasi dapat ditinjau dari dua aspek, yakni di satu pihak adalah “formal democracy” dan di lain pihak “substantive democracy”.“Formal democracy” menunjuk pada demokrasi dalam arti sistem pemerintahan.Substantive democracy menunjuk pada bagaimana proses demokrasi itu dilakukan.
2.6.3 Pemikiran tentang Demokrasi Indonesia
Sebagai negara demokrasi, demokrasi Indonesia memiliki kekhasan. Menurut Budiardjo dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008), demokrasi yang dianut di Indonesia adalah demokrasi yang berdasarkan Pancasila yang masih terus berkembang dan sifat dan ciri-cirinya terdapat pelbagai tafsiran dan pandangan. Meskipun demikian tidak dapat disangkal bahwa nilai-nilai pokok dari demokrasi konstitusional telah cukup tersirat dalam UUD NRI 1945.
Demokrasi konstitusional adalah suatu sistem pemerintahan yang demokratis dengan menitikberatkan Konstitusi sebagai sesuatu yang paling tinggi dan ditakuti. Suatu negara terbentuk karena adanya kekuasaan pemerintahan yang diberikan dari rakyat.
Menurut Prof. Dardji Darmo Diharjo, bahwa pengertian demokrasi Pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber dari kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia, yang perwujudannya seperti dalam ketentuan-ketentuan Pembukaan UUD 1945.
2.6.4 Pentingnya Demokrasi sebagai Sistem Politik Kenegaraan Modern
Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, pada awalnya dimulai dari sejarah Yunani Kuno. Namun demikian demokrasi saat itu hanya memberikan hak berpartisipasi politik pada minoritas kaum laki-laki dewasa. Demokrasi di mata para pemikir Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles bukanlah bentuk pemerintahan yang ideal. Mereka menilai demokrasi sebagai pemerintahan oleh orang miskin atau pemerintahan oleh orang dungu. Demokrasi Yunani Kuno itu selanjutnya tenggelam oleh kemunculan pemerintahan model Kekaisaran Romawi dan tumbuhnya negara-negara kerajaan di Eropa sampai abad ke-17.
Namun demikian pada akhir abad ke-17 lahirlah demokrasi “ modern” yang disemai oleh para pemikir Barat seperti Thomas Hobbes, Montesqueau, dan J. J. Rousseau, bersamaan dengan munculnya konsep negara-bangsa di Eropa. Perkembangan demokrasi semakin pesat dan diterima semua bangsa terlebih sesudah Perang Dunia II. Suatu penelitian dari Unesco tahun 1949 menyatakan “ mungkin bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukungnya yang berpengaruh” (Budiardjo, 2008). Dengan demikian, sampai saat ini, demokrasi diyakini dan diterima sebagai sistem politik yang baik guna mencapai kesejahteraan bangsa. Hampir semua negara modern menginginkan dirinya dicap demokrasi. Sebaliknya akan menghindar dari julukan sebagai negara yang “undemocracy”.
Karena demokrasilah yang memegang peran penting dalam masyarakat dan dalam tata aturan suatu negara. Tanpa adanya demokrasi di suatu negara, dan segala sesuatunya di atur oleh pemerintah, maka hilanglah kesejahteraan masyarakat dan kacaulah negara tersebut. Demokrasi sangatlah penting dan di perlukan masyarakat, tidak hanya sekedar pemerintah yang memegang kendali dalam pengaturan suatu negara, perlu adanya masyarakat yang komplemen, mendukung, dan masyarakat perlu terlibat dalam pembangunan suatu negara demi terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan negara. Dengan demokrasi tak ada saling ingin menang sendiri, saling memaksakan kehendak, saling menghina, saling melecehkan, saling menjatuhakan. Yang ada saling menghargai, saling menghormati, saling mengerti, saling menerima pendapat orang lain, saling lapang dada, saling tenggang rasa. Dan kehidupan yang nyaman pasti akan tercipta.

2.7 Alasan Diperlukan Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
Hingga sekarang ini kita masih menyaksikan sejumlah persoalan tentang kelemahan praktik demokrasi kita. Beberapa permasalahan tersebut yang sempat muncul di berbagai media jejaring sosial adalah (1) Buruknya kinerja lembaga perwakilan dan partai politik; (2) Krisis partisipasi politik rakyat; (3) Munculnya penguasa di dalam demokrasi; dan 4) Demokrasi saat ini membuang kedaulatan rakyat.
Terjadinya krisis partisipasi politik rakyat disebabkan karena tidak adanya peluang untuk berpartisipasi atau karena terbatasnya kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Secara lebih spesifik penyebab rendahnya partisipasi politik tersebut adalah: (a) Pendidikan yang rendah menyebabkan rakyat kurang aktif dalam melaksanakan partisipasi politik; (b) Tingkat ekonmi rakyat yang rendah; dan (c) Partisipasi politik rakyat kurang mendapat tempat oleh Pemerintah. Munculnya penguasa di dalam demokrasi ditandai oleh menjamurnya “dinasti politik” yang menguasai segala segi kehidupan masyarakat: pemerintahan, lembaga perwakilan, bisnis, peradilan, dan sebagainya oleh satu keluarga atau kroni. Adapun perihal demokrasi membuang kedaulatan rakyat terjadi akibat adanya kenyataan yang memprihatinkan bahwa setelah tumbangnya struktur kekuasaan “otokrasi” ternyata bukan demokrasi yang kita peroleh melainkan oligarki di mana kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi, pendidikan, dan sebagainya).

2.8 Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
Sebagaimana telah dikemukakan Mohammad Hatta, demokrasi Indonesia yang bersifat kolektivitas itu sudah berurat berakar di dalam pergaulan hidup rakyat. Sebab itu ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya. Menurutnya, demokrasi bisa tertindas karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsyafan.
Setidak-tidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi dalam kalbu bangsa Indonesia. Pertama, tradisi kolektivisme dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya.
2.8.1 Sumber Nilai yang Berasal dari Demokrasi Desa
Demokrasi yang diformulasikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat merupakan fenomena baru bagi Indonesia ketika merdeka. Kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan-kerajaan feodal yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Akan tetapi, nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu sudah berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik terkecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatra Barat, dan banjar di Bali (Latif, 2011). Mengenai adanya anasir demokrasi dalam tradisi desa kita akan meminjam dua macam analisis berikut.
Pertama, paham kedaulatan rakyat sebenarnya sudah tumbuh sejak lama di Nusantara. Di alam Minangkabau, misalnya pada abad XIV sampai XV kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Ada istilah yang cukup tekenal pada masa itu bahwa “Rakyat ber-raja pada Penghulu, Penghulu berraja pada Mufakat, dan Mufakat ber-raja pada alur dan patut”. Dengan demikian, raja sejati di dalam kultur Minangkabau ada pada alur (logika) dan patut (keadilan). Alur dan patutlah yang menjadi pemutus terakhir sehingga keputusan seorang raja akan ditolak apabila bertentangan dengan akal sehat dan prinsip-prinsip keadilan (Malaka, 2005).
Kedua, tradisi demokrasi asli Nusantara tetap bertahan sekalipun di bawah kekuasaan feodalisme raja-raja Nusantara karena di banyak tempat di Nusantara, tanah sebagai faktor produksi yang penting tidaklah dikuasai oleh raja, melainkan dimiliki bersama oleh masyaraat desa. Karena pemilikan bersama tanah desa ini, hasrat setiap orang untuk memanfaatkannya harus melalui persetujuan kaumnya. Hal inilah yang mendorong tradisi gotong royong dalam memanfaatkan tanah bersama, yang selanjutnya merembet pada bidang-bidang lainnya, termasuk pada hal-hal kepentingan pribadi seperti misalnya membangun rumah, kenduri, dan sebagainya. Adat hidup seperti itu membawa kebiasaan bermusyawarah menyangkut kepentingan umum yang diputuskan secara mufakat (kata sepakat). Seperti disebut dalam pepatah Minangkabau: “Bulek aei dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” (Bulat air karena pembuluh/bambu, bulat kata karena mufakat). Tradisi musyawarah mufakat ini kemudian melahirkan institusi rapat pada tempat tertentu, di bawah pimpinan kepala desa. Setiap orang dewasa yang menjadi warga asli desa tersebut berhak hadir dalam rapat itu. Karena alasan pemilikan faktor produksi bersama dan tradisi musyawarah, tradisi desa boleh saja ditindas oleh kekuasaan feodal, namun sama sekali tidak dapat dilenyapkan, bahkan tumbuh subur sebagai adat istiadat. Hal ini menanamkan keyakinan pada kaum pergerakan bahwa demokrasi asli Nusantara itu kuat bertahan, “liat hidupnya”, seperti terkandung dalam pepatah Minangkabau “indak lakang dek paneh, indak lapuak dek ujan”, tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan (Hatta, 1992).
Ada dua anasir lagi dari tradisi demokrasi desa yang asli nusantara, yaitu hak untuk mengadakan protes bersama terhadap peraturan-peraturan raja yang dirasakan tidak adil, dan hak rakyat untuk menyingkir dari daerah kekuasaan raja, apabila ia merasa tidak senang lagi hidup di sana. Dalam melakukan protes, biasanya rakyat secara bergerombol berkumpul di alun-alun dan duduk di situ beberapa lama tanpa berbuat apa-apa, yang mengekspresikan suatu bentuk demonstrasi damai. Tidak sering rakyat yang sabar melakukan itu. Namun, apabila hal itu dilakukan, pertanda menggambarkan situasi kegentingan yang memaksa penguasa untuk mempertimbangkan ulang peraturan yang dikeluarkannya. Adapun hak menyingkir, dapat dianggap sebagai hak seseorang untuk menentukan nasib sendiri. Kesemua itu menjadi bahan dasar yang dipertimbangkan oleh para pendiri bangsa untuk mencoba membuat konsepsi demokrasi Indonesia yang modern, bedasarkan demokrasi desa yang asli itu (Latif, 2011).
Hatta menjelaskan bahwa Kelima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja, dipuja dalam lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok yang kuat bagi demokrasi sosial, yang akan dijadikan dasar pemerinahan Indonesia merdeka di masa datang (Latif, 2011).
2.8.2 Sumber Nilai yang Berasal dari Islam
Nilai demokratis yang berasal dari Islam bersumber dari akar teologisnya. Inti dari keyakinan Islam adalah pengakuan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid, Monoteisme). Dalam keyakinan ini, hanya Tuhanlah satu-satunya wujud yang pasti. Semua selain Tuhan, bersifat nisbi belaka. Konsekuensinya, semua bentuk pengaturan hidup sosial manusia yang melahirkan kekuasaan mutlak, dinilai bertentangan dengan jiwa Tauhid (Latif, 2011). Pengaturan hidup dengan menciptakan kekuasaan mutlak pada sesama manusia merupakan hal yang tidak adil dan tidak beradab. Sikap pasrah kepada Tuhan, yang memutlakkan Tuhan dan tidak pada sesuatu yang lain, menghendaki tatanan sosial terbuka, adil, dan demokratis (Madjid, 1992).
Kelanjutan logis dari prinsip Tauhid adalah paham persamaan (kesederajatan) manusia di hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan pemaksaan kehendak antarsesama manusia. Bahkan seorang utusan Tuhan tidak berhak melakukan pemaksaan itu. Seorang utusan Tuhan mendapat tugas hanya untuk menyampaikan kebenaran (tabligh) kepada umat manusia, bukan untuk memaksakan kebenaran kepada mereka. Dengan prinsip persamaan manusia di hadapan Tuhan itu, tiap-tiap manusia dimuliakan kehidupan, kehormatan, hak-hak, dan kebebasannya yang dengan kebebasan pribadinya itu manusia menjadi makhluk moral yang harus bertanggung jawab atas pilian-pilihannya. Dengan prinsip persamaan, manusia juga didorong menjadi makhluk sosial yang menjalin kerjasama dan persaudaraan untuk mengatasi kesenjangan dan meningkatkan mutu kehidupan bersama (Latif, 2011).
Sejarah nilai-nilai demokratis sebagai pancaran prinsip-prinsip Tauhid itu dicontohkan oleh Nabi Muhammad S.A.W. sejak awal pertumbuhan komunitas politik Islam di Madinah, dengan mengembangkan cetakan dasar apa yang kemudian dikenal sebagai bangsa (nation). Negara-kota Madinah yang dibangun Nabi adalah sebuah entitas politik berdasarkan konsepsi Negara-bangsa (nation-state), yaitu Negara untuk seluruh umat atau warganegara, demi maslahat bersama (common good). Sebagaimana termaktub dalam Piagam Madinah, “negara-bangsa” didirikan atas dasar penyatuan seluruh kekuatan masyarakat menjadi bangsa yang satu (ummatan wahidah) tanpa membeda-bedakan kelompok keagamaan yang ada. Robert N. Bellah menyebutkan bahwa contoh awal nasionalisme modern mewujud dalam sistem masyarakat Madinah masa Nabi dan para khalifah. Robert N. Bellah mengatakan bahwa sistem yang dibangun Nabi itu adalah “a better model for modern national community building than might be imagined” (suatu contoh bangunan komunitas nasional modern yang lebih baik dari yang dapat dibayangkan). Komunitas ini disebut modern karena adanya keterbukaan bagi partisipasi seluruh anggota masyarakat dan karena adanya kesediaan para pemimpin untuk menerima penilaian berdasarkan kemampuan. Lebih jauh, Bellah juga menyebut sistem Madinah sebagai bentuk nasionalisme yang egaliter partisipatif (egalitarian participant nationalism). Hal ini berbeda dengan sistem republik negara-kota Yunani Kuno, yang membuka partisipasi hanya kepada kaum lelaki merdeka, yang hanya meliputi lima persen dari penduduk (Latif, 2011).
Stimulus Islam membawa transformasi Nusantara dari sistem kemasyarakatan feodalistis berbasis kasta menuju sistem kemasyarakatan yang lebih egaliter. Transformasi ini tercermin dalam perubahan sikap kejiwaan orang Melayu terhadap penguasa. Sebelum kedatangan Islam, dalam dunia Melayu berkembang peribahasa, “Melayu pantang membantah”. Melalui pengaruh Islam, peribahasa itu berubah menjadi “Raja adil, raja disembah; raja zalim, raja disanggah”. Nilai-nilai egalitarianisme Islam ini pula yang mendorong perlawanan kaum pribumi terhadap sistem “kasta” baru yang dipaksakan oleh kekuatan kolonial (Wertheim, 1956). Dalam pandangan Soekarno (1965), pengaruh Islam di Nusantara membawa transformasi masyarakat feodal menuju masyarakat yang lebih demokratis. Dalam perkembangannya, Hatta juga memandang stimulus Islam sebagai salah satu sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial di kalbu para pemimpin pergerakan kebangsaan.
2.8.3 Sumber Nilai yang Berasal dari Barat
Masyarakat Barat (Eropa) mempunyai akar demokrasi yang panjang. Pusat pertumbuhan demokrasi terpenting di Yunani adalah kota Athena, yang sering dirujuk sebagai contoh pelaksanaan demokrasi patisipatif dalam negara-kota sekitar abad ke-5 SM. Selanjutnya muncul pula praktik pemerintahan sejenis di Romawi, tepatnya di kota Roma (Italia), yakni sistem pemerintahan republik. Model pemerintahan demokratis model Athena dan Roma ini kemudian menyebar ke kotakota lain sekitarnya, seperti Florence dan Venice. Model demokrasi ini mengalami kemunduran sejak kejatuhan Imperium Romawi sekitar abad ke-5 M, bangkit sebentar di beberapa kota di Italia sekitar abad ke-11 M kemudian lenyap pada akhir “zaman pertengahan” Eropa. Setidaknya sejak petengahan 1300 M, karena kemunduran ekonomi, korupsi dan peperangan, pemerintahan demokratis di Eropa digantikan oleh sistem pemerintahan otoriter (Dahl, 1992).
Pemikiran-pemikiran humanisme dan demokrasi mulai bangkit lagi di Eropa pada masa Renaissance (sekitar abad ke-14 – 17 M), setelah memperoleh stimuls baru, antara lain, dari peradaban Islam. Tonggak penting dari era Renaissance yang mendorong kebangkitan kembali demokrasi di Eropa adalah gerakan Reformasi Protestan sejak 1517 hingga tercapainya kesepakatan Whestphalia pada 1648, yang meletakan prinsip co-existence dalam hubungan agama dan Negara—yang membuka jalan bagi kebangkitan Negara-bangsa (nation-state) dan tatanan kehidupan politik yang lebih demokratis.
Kehadiran kolonialisme Eropa, khususnya Belanda, di Indonesia, membawa dua sisi dari koin peradaban Barat: sisi represi imperialisme-kapitalisme dan sisi humanisme-demokratis. Penindasan politik dan penghisapan ekonomi oleh imperialisme dan kapitalisme, yang tidak jarang bekerjasama dengan kekuatankekuatan feodal bumi putera, menumbuhkan sikap anti-penindasan, anti-penjajahan, dan anti-feodalisme di kalangan para perintis kemerdekaan bangsa. Dalam melakukan perlawanan terhadap represi politik-ekonomi kolonial itu, mereka juga mendapatkan stimulus dari gagasan-gagasan humanisme-demokratis Eropa (Latif, 2011).
Penyebaran nilai-nilai humanisme-demokratis itu menemukan ruang aktualisasinya dalam kemunculan ruang publik modern di Indonesia sejak akhir abad ke-19. Ruang publik ini berkembang di sekitar institusi-institusi pendidikan modern, kapitalisme percetakan, klub-klub sosial bergaya Eropa, kemunculan bebagai gerakan sosial (seperti Boedi Oetomo, Syarekat Islam dan lan-lain) yang berujung pada pendrian partai-partai politik (sejak 1920-an), dan kehadiran Dewan Rakyat (Volksraad) sejak 1918.
Sumber inspirasi dari anasir demokrasi desa, ajaran Islam, dan sosiodemokrasi Barat, memberikan landasan persatuan dari keragaman., Segala keragaman ideologi-politik yang dikembangkan, yang bercorak keagamaan maupun sekuler, semuanya memiliki titik-temu dalam gagasan-gagasan demokrasi sosialistik (kekeluargaan), dan secara umum menolak individualisme.
Dalam kurun sejarah Indonesia merdeka sampai sekarang ini, ternyata pelaksanaan demokrasi mengalami dinamikanya. Indonesia mengalami praktik demokrasi yang berbeda-beda dari masa ke masa. Beberapa ahli memberikan pandangannya. Misalnya, Budiardjo (2008) menyatakan bahwa dari sudut perkembangan sejarah demokrasi Indonesia sampai masa Orde Baru dapat dibagi dalam empat masa, yaitu:
1.      Masa Republik Indonesia I (1945-1959) yang dinamakan masa demokrasi konstitusional yang menonjolkan peranan parlemen dan partai-partai, karena itu dinamakan Demokrasi Parlementer;
2.      Masa Republik Indonesia II (1959-1965) yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang banyak penyimpangan dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasan dan penunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat;
3.      Masa Republik Indonesia III (1965-1998) yaitu masa demokrasi Pancasila. Demokrasi ini merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensil; dan
4.      Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang) yaitu masa reformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia III.


2.9 Dinamika dan Tantangan Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
Sepanjang sejarah Indonesia pernah mengalami dinamika ketatanegaraan seiring dengan berubahnya konstitusi yang dimulai sejak berlakunya UUD 1945 (I), Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, kembali ke UUD 1945 (II) dan akhirnya kita telah berhasil mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Ihwal postur demokrasi kita dewasa ini dapat kita amati dari fungsi dan peran lembaga permusyawaratan dan perwakilan rakyat menurut UUD NRI Tahun 1945, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Untuk memahami dinamika dan tantangan demokrasi kita itu, Anda diminta untuk membandingkan aturan dasar dalam naskah asli UUD 1945 dan bagaimana perubahannya berkaitan dengan MPR, DPR, dan DPD (Asshiddiqie dkk, 2008).
2.9.1 Majelis Permusyawaratan Rakyat
Amandemen UUD 1945 dilakukan pula terhadap ketentuan tentang lembaga permusyawaratan rakyat, yakni MPR. Sebelum dilakukan perubahan, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. Setelah dilakukan perubahan, maka terjadilah perubahan secara mendasar dalam sistem ketatanegaraan. Perubahan dari sistem vertikalhierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi sistem yang horizontalfundamental dengan prinsip checks and balances (saling mengawasi dan mengimbangi) antarlembaga negara. Dalam kaitan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, timbul kewenangan baru bagi MPR, yakni melantik Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 3 Ayat (2) UUD 1945). Kewenangan lain yang muncul berdasarkan ketentuan Pasal 3 Ayat (3) UUD 1945 adalah MPR berwenang memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Kewenangan MPR lainnya diatur pula dalam Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945. Pasal tersebut mengatur tentang pengisian lowongan jabatan presiden dan wakil presiden secara bersama-sama atau bilamana wakil presiden berhalangan tetap.
2.9.2 Dewan Perwakilan Rakyat
Dalam upaya mempertegas pembagian kekuasaan dan menerapkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi yang lebih ketat dan transparan, maka ketentuan mengenai DPR dilakukan perubahan.Dalam upaya mempertegas pembagian kekuasaan dan menerapkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi yang lebih ketat dan transparan, maka ketentuan mengenai DPR dilakukan perubahan.
Perubahan yang terjadi pada Dewan Perwakilan Rakyat adalah penambahan ketentuan mengenai pemilihan anggota DPR. Dua ketentuan lainnya, yakni susunan dan masa sidang DPP tetap tidak berubah.
Menurut ketentuan Pasal 20 A Ayat (1) UUD 1945 fungsi DPR ada tiga, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Mari kita pahami ketiga fungsi tersebut. (1) Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. (2) Fungsi anggaran adalah fungsi menyusun dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD. (3) Fungsi pengawasan adalah fungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang, dan peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 A Ayat (2) DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Mari kita perhatikan apa makna dari ketiga hak DPR tersebut. (1) Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. (2) Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. (3) Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional. Penyampaian hak ini disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan: hak interpelasi, hak angket, dan terhadap dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Di samping DPR, anggota DPR juga mempunyai hak tertentu. Hak-hak anggota DPR tersebut adalah ; Mengajukan rancangan undang-undang.; Mengajukan pertanyaan; Menyampaikan usul dan pendapat; Memilih dan dipilih ; Membela diri; Imunitas; dan Protokoler; Keuangan; dan administratif.
2.9.3 Dewan Perwakilan Daerah
Ketentuan mengenai Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan hal baru dalam UUD 1945. Ketentuan ini diatur dalam bab tersendiri dan terdiri atas dua pasal, yaitu Pasal 22 C dengan 4 ayat dan Pasal 22 D dengan 4 ayat.
Sistem perwakilan di Indonesia merupakan sistem yang khas. Sebab di samping terdapat DPR sebagai lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi rakyat, juga ada DPD sebagai lembaga penampung aspirasi daerah. Demikianlah dinamika yang terjadi dengan lembaga permusyawaratan dan perwakilan di negara kita yang secara langsung mempengaruhi kehidupan demokrasi. Dinamika ini tentu saja kita harapkan akan mendatangkan kemaslahatan kepada semakin sehat dan dinamisnya Demokrasi Pancasila yang tengah melakukan konsolidasi menuju demokrasi yang matang (maturation democracy). Hal ini merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi segenap komponen bangsa.




2.10 Esensi dan Urgensi Demokrasi Pancasila
2.10.1 Kehidupan Demokratis yang Harus Dikembangkan
Demokrasi itu selain memiliki sifat yang universal, yakni diakui oleh seluruh bangsa-bangsa yang beradab di seluruh dunia, juga memiliki sifat yang khas dari masing-masing negara. Sifat khas demokrasi di setiap negara biasanya tergantung ideologi masing-masing. Demokrasi kita pun selain memiliki sifat yang universal, juga memiliki sifat khas sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Sebagai demokrasi yang berakar pada budaya bangsa, kehidupan demokratis yang kita kembangkan harus mengacu pada landasan idiil Pancasila dan landasan konstitusional UD NRI Tahun 1945. Berikut ini diketengahkan “Sepuluh Pilar Demokrasi Pancasila” yang dipesankan oleh para pembentuk negara RI, sebagaimana diletakkan di dalam UUD NRI Tahun 1945 (Sanusi, 1998).
Pilar-pilar demokrasi Pancasila dan maksud esensinya dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.      Demokrasi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maksud esensinya adalah Seluk beluk sistem serta perilaku dalam menyelenggarakan kenegaraan RI harus taat asas, konsisten, atau sesuai dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Demokrasi dengan kecerdasan, maksud esensinya adalah Mengatur dan menyelenggarakan demokrasi menurut UUD 1945 itu bukan dengan kekuatan naluri, kekuatan otot, atau kekuatan massa semata-mata. Pelaksanaan demokrasi itu justru lebih menuntut kecerdasan rohaniah, kecerdasan aqliyah, kecerdasan rasional, dan kecerdasan emosional.
3.      Demokrasi yang berkedaulatan rakyat, maksud esensinya adalah Kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Secara prinsip, rakyatlah yang memiliki/memegang kedaulatan itu. Dalam batas-batas tertentu kedaulatan rakyat itu dipercayakan kepada wakil-wakil rakyat di MPR (DPR/DPD) dan DPRD.
4.      Demokrasi dengan Rule of Law, maksud esensinya adalah Kekuasaan negara RI itu harus mengandung, melindungi, serta mengembangkan kebenaran hukum (legal truth) bukan demokrasi ugal-ugalan, demokrasi dagelan, atau demokrasi manipulatif. Kekuasaan negara itu memberikan keadilan hukum (legal justice) bukan demokrasi yang terbatas pada keadilan formal dan pura-pura. Kekuasaan negara itu menjamin kepastian hukum (legal security) bukan demokrasi yang membiarkan kesemrawutan atau anarki. Kekuasaan negara itu mengembangkan manfaat atau kepentingan hukum (legal interest), seperti kedamaian dan pembangunan, bukan demokrasi yang justru memopulerkan fitnah dan hujatan atau menciptakan perpecahan, permusuhan, dan kerusakan.
5.      Demokrasi dengan pembagian kekuasaan, maksud esensinya adalah Demokrasi menurut UUD 1945 bukan saja mengakui kekuasaan negara RI yang tidak tak terbatas secara hukum, melainkan juga demokrasi itu dikuatkan dengan pembagian kekuasaan negara dan diserahkan kepada badan-badan negara yang bertanggung jawab. Jadi, demokrasi menurut UUD 1945 mengenal semacam division and separation of power, dengan check and balance.
6.      Demokrasi dengan hak asasi manusia, maksud esensinya adalah Demokrasi menurut UUD 1945 mengakui hak asasi manusia yang tujuannya bukan saja menghormati hak-hak asasi tersebut, melainkan terlebih-lebih untuk meningkatkan martabat dan derajat manusia seutuhnya.
7.      Demokrasi dengan pengadilan yang merdeka, maksud esensinya adalah Demokrasi menurut UUD 1945 menghendaki diberlakukannya sistem pengadilan yang merdeka (independen) yang memberi peluang seluas-luasnya kepada semua pihak yang berkepentingan untuk mencari dan menemukan hukum yang seadil-adilnya. Di muka pengadilan yang merdeka, penggugat dengan pengacaranya, penuntut umum dan terdakwa dengan pengacaranya mempunyai hak yang sama untuk mengajukan konsiderans, dalil-dalil, fakta-fakta, saksi, alat pembuktian, dan petitumnya.
8.      Demokrasi dengan otonomi daerah, maksud esensinya adalah Otonomi daerah merupakan pembatasan terhadap kekuasaan negara, khususnya kekuasaan legislatif dan eksekutif di tingkat pusat, dan lebih khusus lagi pembatasan atas kekuasaan Presiden. UUD 1945 secara jelas memerintahkan dibentuknya daereah-daerah otonom besar dan kecil, yang ditafsirkan daerah otonom I dan II. Dengan Peraturan Pemerintah daerah-daerah otonom itu dibangun dan disiapkan untuk mampu mengatur dan menyelenggarakan urusanurusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya sendiri yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepadanya.
9.      Demokrasi dengan kemakmuran, maksud esensinya adalah Demokrasi tu bukan hanya soal kebebasan dan hak, bukan hanya soal kewajiban dan tanggung jawab, bukan pula hanya soal mengorganisir kedaulatan rakyat atau pembagian kekuasaan kenegaraan. Demokrasi itu bukan pula hanya soal otonomi daerah dan keadilan hukum. Sebab bersamaan dengan itu semua, jika dipertanyakan “where is the beef ?”, demokrasi menurut UUD 1945 itu ternyata ditujukan untuk membangun negara kemakmuran (Welvaarts Staat) oleh dan untuk sebesar-besarnya rakyat Indonesia.
10.  Demokrasi yang berkeadilan sosial, maksud esensinya adalah Demokrasi menurut UUD 1945 menggariskan keadilan sosial di antara berbagai kelompok, golongan, dan lapisan masyarakat. Tidak ada golongan, lapisan, kelompok, satuan, atau organisasi yang menjadi anak emas, yang diberi berbagai keistimewaan atau hak-hak khusus.


2.10.2 Pentingnya Kehidupan yang Demokratis
Pada hakikatnya sebuah negara dapat disebut sebagai negara yang demokratis, apabila di dalam pemerintahan tersebut rakyat memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, memiliki persamaan di muka hukum, dan memperoleh pendapatan yang layak karena terjadi distribusi pendapatan yang adil. Berikut ini adalah uraian dari masing-masing pernyataan tersebut.
A.    Partisipasi dalam Pembuatan Keputusan
Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan, demokrasi kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan pemerintahan dijalankan berdasarkan kehendak rakyat. Aspirasi dan kemauan rakyat harus dipenuhi dan pemerintahan dijalankan berdasarkan konstitusi yang merupakan arah dan pedoman dalam melaksanakan hidup bernegara. Para pembuat kebijakan memperhatikan seluruh aspirasi rakyat yang berkembang. Kebijakan yang dikeluarkan harus dapat mewakili berbagai keinginan masyarakat yang beragam. Sebagai contoh ketika masyarakat kota tertentu resah dengan semakin tercemarnya udara oleh asap rokok yang berasal dari para perokok, maka pemerintah kota mengeluarkan peraturan daerah tentang larangan merokok di tempat umum.
B.     Persamaan Kedudukan di Depan Hukum
Seiring dengan adanya tuntutan agar pemerintah harus berjalan baik dan dapat mengayomi rakyat dibutuhkan adanya hukum. Hukum itu mengatur bagaimana seharusnya penguasa bertindak, bagaimana hak dan kewajiban dari penguasa dan juga rakyatnya. Semua rakyat memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Artinya, hukum harus dijalankan secara adil dan benar. Hukum tidak boleh pandang bulu. Siapa saja yang bersalah dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk menciptakan hal itu harus ditunjang dengan adanya aparat penegak hukum yang tegas dan bijaksana, bebas dari pengaruh pemerintahan yang berkuasa, dan berani menghukum siapa saja yang bersalah.
C.     Distribusi Pendapatan Secara Adil
Dalam negara demokrasi, semua bidang dijalankan dengan berdasarkan prinsip keadilan bersama dan tidak berat sebelah, termasuk di dalam bidang ekonomi. Semua warga negara berhak memperoleh pendapatan yang layak. Pemerintah wajib memberikan bantuan kepada fakir dan miskin yang berpendapatan rendah. Akhirakhir ini Pemerintah menjalankan program pemberian bantuan tunai langsung, hal tersebut dilakukan dalam upaya membantu langsung para fakir miskin. Pada kesempatan lain, Pemerintah terus giat membuka lapangan kerja agar masyarakat bisa memperoleh penghasilan. Dengan program-program tersebut diharapkan terjadi distribusi pendapatan yang adil di antara warga negara Indonesia. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa kehidupan demokratis penting dikembangkan dalam berbagai kehidupan, karena seandainya kehidupan yang demokratis tidak terlaksana, maka asas kedaulatan rakyat tidak berjalan, tidak ada jaminan hak-hak asasi manusia, tidak ada persamaan di depan hukum. Jika demikian, tampaknya kita akan semakin jauh dari tujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
2.10.3 Penerapan Demokrasi dalam Pemilihan Pemimpin Politik dan Pejabat Negara
Seorang wanita tua menghadap Sultan Sulaiman al-Qanuni untuk mengadu bahwa tentara sultan mencuri ternak dombanya ketika dia sedang tidur. Setelah mendengar pengaduan itu, Sultan Sulaiman berkata kepada Wanita itu, “Seharusnya kamu menjaga ternakmu dan jangan tidur”. Mendengar perkataan tersebut wanita tua itu mejawab, “Saya mengira baginda menjaga dan melindungi kami sehingga aku tidur dengan aman” (Hikmah Dalam Humor, Kisah, dan Pepatah, 1998).
Kisah di atas menunjukkan contoh pemimpin yang lemah, yakni pemimpin yang tidak mampu melindungi rakyatnya. Seorang pemimpin memang harus yang memiliki kemampuan memadai, sehingga ia mampu melindungi dan mengayomi rakyatnya dengan baik. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus memenuhi syaratsyarat tertentu. Berdasarkan sistem demokrasi yang kita anut seorang pemimpin itu harus beriman dan bertawa, bermoral, berilmu, terampil, dan demokratis.
A.    Karakter Seorang Pemimpin yang Beriman dan Bertaqwa
Sikap terbaik jika memperoleh kepercayaan adalah mensyukurinya, sebab selain tidak banyak orang yang memperoleh kepercayaan seperti itu, juga pada hakikatnya merupakan nikmat dari Tuhan. Salah satu cara untuk bersyukur adalah selalu ingat akan tugas kepemimpinan yang diembannya, yakni memimpin umat mencapai tujuan dengan ridha Tuhan. Apabila ia beriman dan bertakwa maka tugas-tugas kepemimpinannya itu akan disyukuri sebagai amanah dan sebagai kewajiban mulia agar mampu dilaksanakan dengan baik.
B.     Bermoral
Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Istilah lain untuk moral adalah akhlak, budi pekerti, susila. Bermoral berarti mempunyai pertimbangan baik buruk. Pemimpin yang bermoral berarti pemimpin yang berakhlak baik. Bagi kita yang terpenting adalah mampu mengambil hikmah dari sejumlah kejadian yang menimpa para pemimpin yang lalim dan tidak bermoral. Sejarah mencatat semua pemimpin yang zalim dan tidak bermoral tidak mendatangkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sedang ia sendiri di akhir hayatnya memperoleh kehinaan dan derita. Amangkurat I, misalnya meninggal di tempat pelarian dengan amat mengenaskan. Raja Louis XVI raja yang amat “tiran” dari Prancis, mati digouletin (pisau pemotong hewan) oleh massa, Adolf Hitler seorang diktator dari Jerman meninggal dengan cara meminum racun. Oleh karena itu, tidak ada guna dan manfaatnya sama sekali dari seorang pemimpin yang demikian itu. Jadilah pemimpin yang bermoral, berakhlak, dan berbudi pekerti luhur yang dapat memberi kemaslahatan bagi rakyat. Syarat lain bagi seorang pemimpin adalah berilmu, terampil, dan demokratis.

2.11 Pendidikan Demokrasi
Menurut Syarbaini (2014:83), sistem pengorganisasian negara dalam demokrasi dilakukan oleh rakyat atau atas persetujuan rakyat, yang mengandung aspek-aspek sebagai berikut.
a.      Formal; dalam demokrasi terkandung bagaimana cara partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
b.      Material; dalam demokrasi, pengakuan atas harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa menghendaki pemerintah untuk membahagiakan warga negara.
c.       Kaidah; demokrasi mengikat negara dan warga negara dalam bertindak dan menyelenggarakan hak dan kewajiban serta wewenangnya.
d.      Tujuan; demokrasi membawa rakyatnya kepada masyarakat sejahtera.
e.       Organisasi; demokrasi juga menetapkan struktur organisasi mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.
f.        Semangat; dalam demokrasi terdapat semangat. Semangat itu adalah nilai-nilai yang terkandung ideology negara yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Menurut Syarbaini (2014:84), demokrasi telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari, namun belum tentu setiap orang dan warga negara telah mau menampilkan perilaku demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Penampilan budaya demokrasi diperlukan adanya kemauan untuk memahami nilai-nilai demokrasi dan membiasakannya dalam praktik kehidupan.
a.       Pendidikan Demokrasi
1.      Pendidikan demokrasi secara formal, yaitu pendidikan yang melewati tatp muka, diskusi timbale balik, presentasi, studi kasus untuk memberikan gambaran kepada siswa agar supaya mempunyai kemampuan untuk cinta negara dan bangsa. Pendidikan formal biasanya dilakukan di sekolah atau di perguruan tinggi.
2.      Pendidikan demokrasi secara informal, yaitu pendidikan yang melewati tahap pergaulan di rumah maupun masyarakat, sebagai bentuk aplikasi nilai berdemokrasi sebagai hasil interaksi terhadap lingkungan sekitarnya, langsung dapat dirasakan hasilnya.
3.      Pendidikan nonformal, yaitu pendidikan melewati tahap di luar lingkungan masyarakat lebih makro dalam berinteraksi sebab pendidikan di luar sekolah mempunyai variabel maupun parameter yang signifikan terhadap pembentukan jiwa seseorang.
b.      Visi Pendidikan Demokrasi
Sebagai wahana substantis, pedagogis, dan social cultural untuk membangun cita-cita, nilai konsep, prinsip, sikap, dan keterampilan demokrasi dalam diri warga negara melalui pengalaman hidup dan berkehidupan demokrasi dalam berbagai konteks.
c.       Misi Pendidikan Demokrasi
Memfasilitasi warga negara untuk mendapatkan berbagai akses kepada dan menggunakan secara cerdas berbagai sumber informasi tentang demokrasi dalam teori dan praktik untuk berbagai konteks kehidupan sehingga memiliki wawasan yang luas dan memadai.
Pendidikan demokrasi merupakan suatu proses untuk melaksanakan demokrasi yang benar, sehingga sasaran yang akan dicapai adalah mengajak warga negara, terutama mahasiswa pada umumnya untuk melaksanakan pendidikan ini secara baik dan benar. Proses semacam ini mempunyai implikasi yang sangat signifikan terhadap cara berdemokrasi yang baik dan benar dengan memperhatikan kaidah-kaidah maupun asas dalam berdemokrasi masyarakat. Pemilu sebagai salah satu wujud demokrasi.
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Demokrasi berasal dari dua kata “demos” yang berarti rakyat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. “Demos cratos” atau “demos cratein” dalam bahasa Yunani yang berarti demokrasi dalam bahasa Indonesia adalah kedaulatan rakyat atau kekuasaan berada di tangan rakyat.
Sistem demokrasi dilaksanakan dengan cara yang berbeda-beda antara negara satu dengan negara lainnya. Hal ini disebabkan oleh sejarah suatu negara tersebut, pandangan hidup negara tersebut, dan cita-cita dari negara tersebut. Begitu halnya dengan negara Indonesia, negara Indonesia menggunakan sistem demokrasi yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945. Demokrasi di negara Indonesia melalui beberapa perkembangan yang dapat dibagi menjadi empat periode yaitu: periode 1945-1959, periode 1959-1965, periode 1966-1998, dan periode 1999-sekarang. Pada dasarnya, meskipun sistem demokrasi di Indonesia telah berkembang hingga dapat dibagi menjadi empat periode, sistem demokrasi di Indonesia masih juga belum menemui titik cerah. Dari periode pertama sampai periode sekarang ini, sistem demokrasi di Indonesia masih belum dapat meminimumkan kelemahan-kelemahannya. Pada periode 1999-sekarang, yang dianggap menjadi periode kebangkitan di mana pada masa ini peran partai politik kembali menonjol sehingga iklim demokrasi memperoleh nafas baru, ternyata masih juga memiliki kelemahan yang cukup mendasar. Secara singkatnya, demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat, maka praktik demokrasi tatkala pemilu memang demikian, namun dalam pelaksanaannya setelah pemilu, banyak kebijakan yang tidak mendasarkan pada kepentingan rakyat, melainkan lebih kea rah pembagian kekuasaan antara presiden dan partai politik dalam DPR. Dengan perkataan lain model demokrasi era reformasi, kurang mendasarkan pada keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia (walfare state).
Demokrasi di Indonesia selulu mengalami perkembangan dan perubahan. Di samping perkembangan dan perubahan, perlu juga diperhatikan bahwa demokrasi di Indonesia memiliki banyak tantangan. Tantangan-tantangan ini dapat dihindari ketika seluruh rakyat Indonesia memiliki kemauan yang tinggi untuk berusaha menanamkan jiwa demokratis, salah satunya dengan pendidikan demokrasi yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak selalu sama. Sekedar untuk menunjukkan betapa rakyat diletakkan pada posisi penting dalam asas demokrasi.

3.2 Saran
Negara Indonesia telah menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem demokrasi yang berlandaskan Pancasila. Tidak ada yang salah dengan kata demokrasi, bahkan negara-negara di dunia begitu mendambakan demokrasi. Hanya saja ketika demokrasi ini diterapkan, masih belum menggambarkan adanya suatu usaha yang sinkron dan maksimal dari berbagai pihak. Sebagai warga negara yang baik, ketika telah mengetahui bahwa sistem demokrasi diterapkan di negaranya, sudah seharusnya tindakan dan perilaku warga negara mencerminkan demokrasi yang penuh tanggung jawab. Sistem demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia melalui lembaga-lembaga perwakilan. Lembaga-lembaga perwakilan tersebut dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga sudah sepatutnya bahwa anggota dari lembaga-lembaga perwakilan bercermin bahwa jabatan yang mereka emban merupakan amanah dari rakyat untuk dijalankan sebaik mungkin dengan tujuan kesejahteraan.


DAFTAR PUSTAKA

Universitas Jember. 2012. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Edisi Ketiga. Jember: Jember University Press.
Kementrian Riset, Tekonologi, dan Pendidikan Tinggi. 2014. PKn MKWU 2014 PDF Jurnal. Jakarta: Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Budimansyah, D. & Sudirwo, D. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan pada Perguruan Tinggi. Bandung: C.V. Randu Alas.
Rahayu, A. S. 2013. Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan (PPKn). Jakarta: Bumi Aksara.
Srijanti, Rahman, A., dan Purwanto. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta: Salemba Empat.
Syarbaini, S. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

No comments:

Post a Comment