1.1 Latar Belakang
Menurut
Budimansyah dan Sudirwo (2009:65), demokrasi merupakan kata yang didambakan
oleh semua orang dan semua negara karena kata demokrasi menggambarkan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi. Demokrasi berasal dari dua kata “demos”
yang berarti rakyat dan “cratein”
atau “cratos” yang berarti kekuasaan
atau kedaulatan. “Demos cratos” atau
“demos cratein” dalam bahasa Yunani
yang berarti demokrasi dalam bahasa Indonesia adalah kedaulatan atau kekuasaan
di tangan rakyat. Pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat, (government
of the people, by the people, and for the people. Abraham Lincoln).
Secara
etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yakni “ demos” dan
“kratein”. Secara terminologis, Abraham Lincoln mantan Presiden Amerika
Serikat, menyatakan bahwa “demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat” atau “the government from the people, by the
people, and for the people”. Menurut Sanusi (2006), mengidentifikasi adanya
sepuluh pilar demokrasi konstitusional menurut UUD 1945, yakni : ” Demokrasi
yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Demokrasi Dengan Kecerdasan, Demokrasi yang
Berkedaulatan Rakyat, Demokrasi dengan “Rule of Law”, Demokrasi dengan
Pembagian Kekuasaan Negara, Demokrasi dengan Hak Azasi Manusia, Demokrasi
dengan Pengadilan yang Merdeka, Demokrasi dengan Otonomi Daerah, Demokrasi
Dengan Kemakmuran, dan Demokrasi yang Berkeadilan Sosial “.
Negara
Indonesia merupakan negara yang berkomitmen untuk menjadikan demokrasi
berkembang di negara ini. Hal ini disebabkan, demokrasi memiliki pemahaman
bahwa setiap individu sangat dihargai keberadaannya dalam berpartisipasi
menjalankan kehidupan bernegara secara luas dan maksimal. Melalui pemahaman tersebut,
dapat diketahui bahwa negara Indonesia sangat menghargai keberadaan rakyatnya.
Karena itu, demokrasi perlu ditumbuhkan, dipelihara, dikembangkan, dan
dihormati oleh setiap rakyat Indonesia.
Setiap
negara memiliki cirri khas dalam pelaksanaan demokrasinya, termasuk pula negara
Indonesia. Hal ini ditentukan oleh sejarah negara yang bersangkutan,
kebudayaan, pandangan hidup, serta tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian,
pada setiap negara terdapat corak khas demokrasi yang tercermin pada pola
sikap,keyakinan dan perasaan tertentu yang mendasari, mengarahkan, dan memberi
arti pada tingkah laku dan proses berdemokrasi dalam suatu sistem politik.
Menurut Rahayu (2013:54), pembahasan tentang peranan negara dan masyarakat
tidak dapat dilepaskan dari telaah tentang demokrasi dan hal ini karena dua
alasan. Pertama, hampir semua negara
di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental
sebagai telah ditunjukkan oleh hasil studi UNESCO pada awal 1950-an yang
mengumpulkan lebih dari 100 Sarjana Barat dan Timur, sementara di negara-negara
demokrasi itu pemberian peranan kepada negara dan masyarakat hidup dalam porsi
berbeda-beda (kendati sama-sama negara demokrasi). Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah
memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai
organisasi tertingginya tetapi ternyata demokrasi itu berjalan dalam jalur yang
berbeda-beda (Rais, 1955:1).
Menurut
Rahayu (2013:54), dalam hubungannya dengan implementasi ke dalam sistem
pemerintahan, demokrasi juga melahirkan sistem yang bermacam-macam seperti: pertama, sistem presidensial yang
menyejajarkan antara parlemen dan presiden dengan memberi dua kedudukan kepada
presiden yakni sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kedua, sistem parlementer yang
meletakkan pemerintah dipimpin oleh perdana menteri yang hanya berkedudukan
sebagai kepala pemerintahan dan bukan kepala negara, sebab kepala negaranya
bisa diduduki oleh raja atau presiden yang hanya menjadi symbol kedaulatan dan
persatuan. Ketiga, sistem referendum
yang meletakkan pemerintah sebagai bagian (badan pekerja) dari parlemen. Di
beberapa negara ada yang menggunakan sistem campuran antara presidensial dengan
parlementer, yang antara lain dapat dilihat dari sistem ketatanegaraan di
Prancis atau di negara Indonesia berdasarkan UUD 1945. Dengan alasan tersebut
menjadi jelas bahwa asas demokrasi yang hampir sepenuhnya disepakati sebagai
model terbaik bagi dasar penyelenggaran negara ternyata memberikan implikasi
yang berbeda di antara pemakai-pemakainya bagi peranan negara.
Dengan
pernyataan di atas, tidak menutup kemungkinan bahwa negara Indonesia menerapkan
sistem demokrasi yang berciri khas negara Indonesia sendiri berdasarkan
Pancasila dan UUD NRI 1945. Telah menjadi bagian dari hak dan kewajiban setiap
rakyat Indonesia yang juga meliputi mahasiswa untuk mengetahui dan mengamalkan
sistem demokrasi secara bijaksana di negara Indonesia. Oleh karena itu, penulis
akan menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan Demokrasi Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian pada latar belakang di atas, maka masalah-masalah yang akan dikaji dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. seperti
apakah bentuk-bentuk demokrasi?
2. seperti
apakah nilai-nilai demokrasi?
3. seperti
apakah prinsip dan parameter demokrasi?
4. bagaimanakah
perkembangan demokrasi di Indonesia?
5. bagaimanakah
demokrasi pasca reformasi di Indonesia?
6. bagaimanakah
konsep dan urgensi demokrasi yang bersumber dari Pancasila?
7. mengapa
diperlukan demokrasi yang bersumber dari Pancasila?
8. bagaimanakah
sumber historis, sosiologis, dan politik tentang demokrasi yang bersumber dari
Pancasila?
9. bagaimanakah
dinamika dan tantangan demokrasi yang bersumber dari Pancasila?
10. bagaimanakah
esensi dan urgensi Demokrasi Pancasila?
11. seperti
apakah pendidikan demokrasi?
1.3 Tujuan
Berdasarkan
perumusan masalah di atas, penulis dapat menjelaskan mengenai tujuan dari
pembuatan makalah ini sebagai berikut:
1. mengetahui
bentuk-bentuk demokrasi;
2. mengetahui
nilai-nilai demokrasi;
3. mengetahui
prinsip dan parameter demokrasi;
4. mengetahui
perkembangan demokrasi di Indonesia;
5. mengetahui
demokrasi pasca reformasi di Indonesia;
6. mengetahui
konsep dan urgensi demokrasi yang bersumber dari Pancasila;
7. mengetahui
alasan diperlukan demokrasi yang bersumber dari Pancasila;
8. mengetahui
sumber historis, sosiologis, dan politik tentang demokrasi yang bersumber dari
Pancasila;
9. mengetahui
dinamika dan tantangan demokrasi yang bersumber dari Pancasila;
10. mengetahui
esensi dan urgensi demokrasi Pancasila; dan
11. mengetahui
pendidikan demokrasi.
1.4 Manfaat
Makalah
ini memiliki beberapa manfaat bagi penulis secara pribadi maupun bagi para
pembaca antara lain:
1. menambah
pengetahuan dan wawasan mengenai Demokrasi
Indonesia;
2. menjadikan
makalah tentang Demokrasi Indonesia ini
sebagai literatur-literatur untuk pembuatan makalah selanjutnya bagi penulis
maupun pembaca;
3. sebagai
rangkuman materi-materi dari sumber internet, buku, maupun jurnal dalam bentuk
tulisan;
4. dijadikan
sebagai bahan pembelajaran dalam pembuatan makalah selanjutnya; dan
5. dijadikan
sebagai cermin diri bagi para pembaca, pemerintah, maupun masyarakat luas
setelah membaca dan memahami penjelasan tentang Demokrasi Indonesia.
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Bentuk-Bentuk Demokrasi
Menurut
Torres demokrasi dapat dilihat dari dua yaitu pertama, formal democracy dan kedua, substantive
democracy, yaitu menunjuk pada bagaimana proses demokrasi itu dilakukan
(Winataputra, 2006).
Formal democracy menunjuk
pada demokrasi dalam arti sistem pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dalam
berbagai pelaksanaan demokrasi di berbagai negara. Dalam suatu negara misalnya
dapat diterapkan demokrasi dengan menerapkan sistem presidensial, atau sistem
parlementer.
1. Sistem
Presidensial: sistem ini menekankan pentingnya pemilihan presiden secara
langsung, sehingga presiden terpilih mendapatkan mandat secara langsung dari
rakyat.
2. Sistem
Parlementer: sistem ini menerapkan model hubungan yang menyatu antara kekuasaan
eksekutif dan legislatif. Kepala eksekutif berada di tangan seorang perdana
menteri. Adapun kepala negara berada di tangan raja atau ratu. Misalnya di
negara Inggris.
Selain
bentuk demokrasi sebagaimana dipahami di atas terdapat beberapa sistem
demokrasi yang mendasarkan pada prinsip filosofi negara.
1. Demokrasi
Perwakilan Liberal
Prinsip demokrasi ini didasarkan pada suatu filsafat
kenegaraan bahwa manusia adalah sebagai makhluk individu yang bebas. Oleh
karena itu, dalam sistem demokrasi ini kebebasan individu sebagai dasar
fundamental dalam pelaksanaan demokrasi.
Konsekuensi dari implementasi sistem dan prinsip
demokrasi ini adalah berkembang persaingan bebas, terutama dalam kehidupan
ekonomi sehingga akibatnya individu yang tidak mampu menghadapi persaingan
tersebut akan tenggelam. Akibatnya kekuasaan kapitalislah yang menguasai
kehidupan negara, bahkan berbagai kebijakan dalam negara sangat ditentukan oleh
kekuasaan kapital. Hal ini sesuai semangat pasar bebas yang dijiwai oleh
filosofi demokrasi liberal, maka kaum kapitalislah yang berkuasa. Kapitalisme
telah menjadi fenomena global dan dapat mengubah masyarakat di seluruh dunia
baik dalam bidang social, politik maupun kebudayaan (Berger, 1998).
2. Demokrasi
Satu Partai dan Komunisme
Menurut Rahayu (2013:62), demokrasi satu partai ini
lazimnya dilaksanakan di negara-negara komunis seperti Rusia, China, Vietnam,
dan lainnya. Kebebasan formal berdasarkan demokrasi liberal akan menghasilkan
kesenjangan kelas yang semakin lebar dalam masyarakat, akhirnya kapitalislah
yang menguasai negara.
2.2 Nilai-Nilai Demokrasi
Henry
B. Mayo telah mencoba untuk memerinci nilai-nilai ini, dengan catatan tentu
saja tidak berarti bahwa setiap masyarakat demokratis semua nilai-nilai ini,
melainkan tergantung kepada perkembangan sejarah, aspirasi dan budaya politik
masing-masing. Berikut adalah nilai-nilai yang diutarakan Henry B. Mayo.
1. Menyelesaikan
perselisihan dengan damai dan secara melembaga.
2. Menjamin
terselenggaranya perubahan secara damai dan dalam suatu masyarakat yang sedang
berubah.
3. Menyelenggarakan
pergantian pimpinan secara teratur.
4. Membatasi
pemakaian kekerasan sampai minimum.
5. Mengakui
dan menganggap wajar adanya keanekaragaman.
6. Menjamin
tegaknya keadilan.
Menurut
Srijanti et al. (2011:53), untuk
menumbuhkan keyakinan akan baiknya sistem demokrasi, maka harus ada pola
perilaku yang menjadi tuntunan atau norma/nilai-nilai demokrasi yang diyakini
masyarakat. Nilai-nilai dari demokrasi membutuhkan hal-hal berikut:
1. kesadaran
akan pluralism;
2. sikap
yang jujur dan pikiran yang sehat;
3. demokrasi
membutuhkan kerja sama antarwarga masyarakat dan sikap serta itikad baik;
4. demokrasi
membutuhkan sikap kedewasaan; dan
5. demokrasi
membutuhkan pertimbangan moral.
2.3 Prinsip dan Parameter Demokrasi
Suatu
negara atau pemerintahan dikatakan demokratis apabila dalam sistem
pemerintahannya mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi. Menurut Robert A. Dahl
terdapat tujuh prinsip demokrasi yang harus ada dalam sistem pemerintahan,
yaitu:
1. adanya
kontrol atau kendali atas keputusan pemerintahan;
2. adanya
pemilihan yang teliti dan jujur;
3. adanya
hak memilih dan dipilih;
4. adanya
kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman;
5. adanya
kebebasan mengakses informasi; dan
6. adanya
kebebasan berserikat yang terbuka.
Menurut
Srijanti et al. (2011:56), di
Indonesia, prinsip-prinsip negara demokratis telah dilakukan, walaupun masih
ada beberapa kelemahan dalam pelaksanaannya. Untuk mengukur seberapa jauh kadar
demokrasi sebuah negara, diperlukan suatu ukuran atau parameter. Parameter
untuk mengukur demokrasi dapat dilihat dari empat hal, yaitu:
1. pembentukan
pemerintahan melalui pemilu;
2. sistem
pertanggungjawaban pemerintahan;
3. pengaturan
sistem dan distribusi kekuasaan negara; dan
4. pengawasan
oleh rakyat.
2.4 Perkembangan Demokrasi di
Indonesia
Menurut
Rahayu (2013:64), perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi dalam empat
periode:
1. Periode
1945-1959, masa demokrasi parlementer yang menonjolkan peranan parlemen serta
partai-partai. Pada masa ini kelemahan demokrasi parlementer memberi peluang
untuk dominasi partai-partai politik dan DPR. Akibatnya persatuan yang digalang
selama perjuangan melawan musuh bersama akan menjadi kendor.
2. Periode
1959-1965, masa demokrasi terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang
dari demokrasi konstitusional dan lebih menampilkan beberapa aspek dari
demokrasi rakyat. Masa ini ditandai dengan dominasi presiden, terbatasnya peran
partai politik, perkembangan pengaruh komunis, dan peran ABRI sebagai unsure social-politik,
semakin luas.
3. Periode
1966-1998, masa demokrasi Pancasila era Orde Baru yang merupakan demokrasi
konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial. Landasan formal periode
ini adalah Pancasila, UUD 1945, dan ketetapan MPRS/MPR dalam rangka untuk
meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945 yang terjadi di masa
demokrasi terpimpin. Namun, dalam perkembangannya peran presiden semakin
dominan terhadap lembaga-lembaga negara yang lain. Melihat praktik demokrasi
pada masa ini, nama Pancasila hanya digunakan sebagai legitimasi politis
penguasa saat itu, sebab kenyataannya yang dilaksanakan tidak sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila.
4. Periode
1999-sekarang, masa demokrasi Pancasila era Reformasi dengan berakar pada
kekuatan multi partai yang berusaha mengembalikan perimbangan kekuatan antar
lembaga negara, antara eksekutif, legislative, dan yudikatif. Pada masa ini
peran partai politik kembali menonjol, sehingga iklim demokrasi memperoleh
nafas baru. Jika esensi demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat, maka
praktik demokrasi tatkala pemilu memang demikian, namun dalam pelaksanaannya
setelah pemilu, banyak kebijakan tidak mendasarkan pada kepentingan rakyat,
melainkan lebih kea rah pembagian kekuasaan antara presiden dan partai politik
dalam DPR. Dengan perkataan lain model demokrasi era reformasi dewasa ini,
kurang mendasarkan pada keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia (walfare state).
2.5 Demokrasi Pasca Reformasi di
Indonesia
Dewasa
ini hampir seluruh negara di dunia mengklaim menjadi penganut setia paham
demokrasi. Namun demikian, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh
Amos J. Peaslee bahwa dalam kenyataannya demokrasi dipraktikkan di seluruh
dunia secara berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Setiap negara dan
orang menerapkan definisi demokrasi menurut criteria masing-masing, bahkan
negara komunis seperti RRC, Kuba, Vietnam juga menyatakan sebagai negara
demokrasi.
Menurut
Rahayu (2013:67), prinsip pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat tersebut
bagi negara Indonesia terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV.
Menurut
Rahayu (2013:68), Pembukaan UUD 1945 dalam ilmu hukum memiliki kedudukan
sebagai “staatsfundamentalnorm”, oleh
karena itu merupakan sumber hukum positif dalam negara Republik Indonesia. Maka,
prinsip demokrasi di negara Indonesia selain tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
juga berdasarkan pada dasar filsafat negara Pancasila sila keempat yaitu
kerakyatan. Selain itu, dasar pelaksanaan demokrasi Indonesia juga secara
eksplisit tercantum dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Prinsip
demokrasi tersebut secara eksplisit juga dijabarkan dalam Pasal UUD 1945 hasil
Amandemen dengan mewujudkan sistem penentuan kekuasaan pemerintahan negara
secara langsung, yaitu melibatkan rakyat secara langsung dalam memilih presiden
dan wakil presiden Pasal 6A ayat (1). Sistem demokrasi dalam penyelenggaraan
negara Indonesia juga diwujudkan dalam penentuan kekuasaan negara, yaitu dengan
menentukan dan memisahkan tentang kekuasaan eksekutif Pasal 4 sampai dengan
Pasal 16, legislatif Pasal 19 sampai dengan Pasal 22, dan yudikatif Pasal 24
UUD 1945.
2.6 Konsep dan Urgensi Demokrasi
yang Bersumber dari Pancasila
2.6.1
Pengertian Demokrasi
Secara
etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yakni “demos” dan
“kratein”. Dalam “The Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Hornby
dkk, 1988), dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan “democracy” adalah: (1)
country with principles of government in which all adult citizens share through
their ellected representatives; (2) country with government which encourages
and allows rights of citizenship such as freedom of speech, religion, opinion,
and association, the assertion of rule of law, majority rule, accompanied by
respect for the rights of minorities. (3) society in which there is treatment
of each other by citizens as equals”.
Dari
kutipan pengertian tersebut tampak bahwa kata demokrasi merujuk kepada konsep
kehidupan negara atau masyarakat di mana warganegara dewasa turut
berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih;
pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara, beragama,
berpendapat, berserikat, menegakkan ”rule of law”, adanya pemerintahan
mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan masyarakat yang
warganegaranya saling memberi perlakuan yang sama. Pengertian tersebut pada
dasarnya merujuk kepada ucapan Abraham Lincoln mantan Presiden Amerika Serikat,
yang menyatakan bahwa “demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat” atau “the government from the people, by the people,
and for the people”.
Menurut
CICED (1999), bahwa demokrasi sebagai konsep yang bersifat multidimensional,
yakni secara filosofis demokrasi sebagai ide, norma, dan prinsip; secara
sosiologis sebagai sistem sosial; dan secara psikologis sebagai wawasan, sikap,
dan perilaku individu dalam hidup bermasyarakat.
2.6.2
Tiga Tradisi Pemikiran Politik Demokrasi
Secara
konseptual, seperti dikemukakan oleh Carlos Alberto Torres (1998) demokrasi
dapat dilihat dari tiga tradisi pemikiran politik, yakni “classical
Aristotelian theory, medieval theory, contemporary doctrine”. Dalam tradisi
pemikiran Aristotelian demokrasi merupakan salah satu bentuk pemerintahan,
yakni “…the government of all citizens who enjoy the benefits of citizenship”,
atau pemerintahan oleh seluruh warganegara yang memenuhi syarat
kewarganegaraan. Sementara itu dalam tradisi “medieval theory” yang pada
dasarnya menerapkan “Roman law” dan konsep “popular souverignty” menempatkan
“…a foundation for the exercise of power, leaving the supreme power in the
hands of the people”, atau suatu landasan pelaksanaan kekuasaan tertinggi di
tangan rakyat. Sedangkan dalam “contemporary doctrine of democracy”, konsep
“republican” dipandang sebagai “…the most genuinely popular form of
government”, atau konsep republik sebagai bentuk pemerintahan rakyat yang
murni.
Lebih
lanjut, Torres (1998) memandang demokrasi dapat ditinjau dari dua aspek, yakni
di satu pihak adalah “formal democracy” dan di lain pihak “substantive
democracy”.“Formal democracy” menunjuk pada demokrasi dalam arti sistem
pemerintahan.Substantive democracy menunjuk pada bagaimana proses demokrasi itu
dilakukan.
2.6.3 Pemikiran tentang
Demokrasi Indonesia
Sebagai
negara demokrasi, demokrasi Indonesia memiliki kekhasan. Menurut Budiardjo
dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008), demokrasi yang dianut di Indonesia
adalah demokrasi yang berdasarkan Pancasila yang masih terus berkembang dan
sifat dan ciri-cirinya terdapat pelbagai tafsiran dan pandangan. Meskipun
demikian tidak dapat disangkal bahwa nilai-nilai pokok dari demokrasi
konstitusional telah cukup tersirat dalam UUD NRI 1945.
Demokrasi
konstitusional adalah suatu sistem pemerintahan yang demokratis dengan
menitikberatkan Konstitusi sebagai sesuatu yang paling tinggi dan ditakuti.
Suatu negara terbentuk karena adanya kekuasaan pemerintahan yang diberikan dari
rakyat.
Menurut
Prof. Dardji Darmo Diharjo, bahwa pengertian demokrasi Pancasila adalah paham
demokrasi yang bersumber dari kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia,
yang perwujudannya seperti dalam ketentuan-ketentuan Pembukaan UUD 1945.
2.6.4 Pentingnya
Demokrasi sebagai Sistem Politik Kenegaraan Modern
Demokrasi
sebagai bentuk pemerintahan, pada awalnya dimulai dari sejarah Yunani Kuno.
Namun demikian demokrasi saat itu hanya memberikan hak berpartisipasi politik
pada minoritas kaum laki-laki dewasa. Demokrasi di mata para pemikir Yunani
Kuno seperti Plato dan Aristoteles bukanlah bentuk pemerintahan yang ideal.
Mereka menilai demokrasi sebagai pemerintahan oleh orang miskin atau
pemerintahan oleh orang dungu. Demokrasi Yunani Kuno itu selanjutnya tenggelam
oleh kemunculan pemerintahan model Kekaisaran Romawi dan tumbuhnya
negara-negara kerajaan di Eropa sampai abad ke-17.
Namun
demikian pada akhir abad ke-17 lahirlah demokrasi “ modern” yang disemai oleh
para pemikir Barat seperti Thomas Hobbes, Montesqueau, dan J. J. Rousseau,
bersamaan dengan munculnya konsep negara-bangsa di Eropa. Perkembangan
demokrasi semakin pesat dan diterima semua bangsa terlebih sesudah Perang Dunia
II. Suatu penelitian dari Unesco tahun 1949 menyatakan “ mungkin bahwa untuk
pertama kalinya dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling
baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang
diperjuangkan oleh pendukung-pendukungnya yang berpengaruh” (Budiardjo, 2008).
Dengan demikian, sampai saat ini, demokrasi diyakini dan diterima sebagai
sistem politik yang baik guna mencapai kesejahteraan bangsa. Hampir semua
negara modern menginginkan dirinya dicap demokrasi. Sebaliknya akan menghindar
dari julukan sebagai negara yang “undemocracy”.
Karena
demokrasilah yang memegang peran penting dalam masyarakat dan dalam tata aturan
suatu negara. Tanpa adanya demokrasi di suatu negara, dan segala sesuatunya di
atur oleh pemerintah, maka hilanglah kesejahteraan masyarakat dan kacaulah
negara tersebut. Demokrasi sangatlah penting dan di perlukan masyarakat, tidak
hanya sekedar pemerintah yang memegang kendali dalam pengaturan suatu negara,
perlu adanya masyarakat yang komplemen, mendukung, dan masyarakat perlu
terlibat dalam pembangunan suatu negara demi terciptanya kemakmuran dan
kesejahteraan negara. Dengan demokrasi tak ada saling ingin menang sendiri,
saling memaksakan kehendak, saling menghina, saling melecehkan, saling
menjatuhakan. Yang ada saling menghargai, saling menghormati, saling mengerti,
saling menerima pendapat orang lain, saling lapang dada, saling tenggang rasa.
Dan kehidupan yang nyaman pasti akan tercipta.
2.7 Alasan Diperlukan Demokrasi
yang Bersumber dari Pancasila
Hingga
sekarang ini kita masih menyaksikan sejumlah persoalan tentang kelemahan
praktik demokrasi kita. Beberapa permasalahan tersebut yang sempat muncul di
berbagai media jejaring sosial adalah (1) Buruknya kinerja lembaga perwakilan
dan partai politik; (2) Krisis partisipasi politik rakyat; (3) Munculnya
penguasa di dalam demokrasi; dan 4) Demokrasi saat ini membuang kedaulatan rakyat.
Terjadinya
krisis partisipasi politik rakyat disebabkan karena tidak adanya peluang untuk
berpartisipasi atau karena terbatasnya kemampuan untuk berpartisipasi dalam
politik. Secara lebih spesifik penyebab rendahnya partisipasi politik tersebut
adalah: (a) Pendidikan yang rendah menyebabkan rakyat kurang aktif dalam
melaksanakan partisipasi politik; (b) Tingkat ekonmi rakyat yang rendah; dan
(c) Partisipasi politik rakyat kurang mendapat tempat oleh Pemerintah.
Munculnya penguasa di dalam demokrasi ditandai oleh menjamurnya “dinasti
politik” yang menguasai segala segi kehidupan masyarakat: pemerintahan, lembaga
perwakilan, bisnis, peradilan, dan sebagainya oleh satu keluarga atau kroni.
Adapun perihal demokrasi membuang kedaulatan rakyat terjadi akibat adanya
kenyataan yang memprihatinkan bahwa setelah tumbangnya struktur kekuasaan
“otokrasi” ternyata bukan demokrasi yang kita peroleh melainkan oligarki di
mana kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar
rakyat (demos) tetap jauh dari sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum,
informasi, pendidikan, dan sebagainya).
2.8 Sumber Historis, Sosiologis,
dan Politik tentang Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
Sebagaimana
telah dikemukakan Mohammad Hatta, demokrasi Indonesia yang bersifat
kolektivitas itu sudah berurat berakar di dalam pergaulan hidup rakyat. Sebab
itu ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya. Menurutnya, demokrasi bisa
tertindas karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang
pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsyafan.
Setidak-tidaknya
ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi dalam kalbu bangsa
Indonesia. Pertama, tradisi kolektivisme dari permusyawaratan desa. Kedua,
ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta
persaudaraan antarmanusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat,
yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan karena dasar-dasar
perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya.
2.8.1
Sumber Nilai yang Berasal dari Demokrasi Desa
Demokrasi
yang diformulasikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat merupakan fenomena baru bagi Indonesia ketika merdeka. Kerajaan-kerajaan
pra-Indonesia adalah kerajaan-kerajaan feodal yang dikuasai oleh raja-raja
autokrat. Akan tetapi, nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu sudah
berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit
politik terkecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatra Barat, dan banjar di Bali
(Latif, 2011). Mengenai adanya anasir demokrasi dalam tradisi desa kita akan
meminjam dua macam analisis berikut.
Pertama,
paham kedaulatan rakyat sebenarnya sudah tumbuh sejak lama di Nusantara. Di
alam Minangkabau, misalnya pada abad XIV sampai XV kekuasaan raja dibatasi oleh
ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Ada istilah yang cukup tekenal pada
masa itu bahwa “Rakyat ber-raja pada Penghulu, Penghulu berraja pada Mufakat,
dan Mufakat ber-raja pada alur dan patut”. Dengan demikian, raja sejati di
dalam kultur Minangkabau ada pada alur (logika) dan patut (keadilan). Alur dan
patutlah yang menjadi pemutus terakhir sehingga keputusan seorang raja akan
ditolak apabila bertentangan dengan akal sehat dan prinsip-prinsip keadilan
(Malaka, 2005).
Kedua,
tradisi demokrasi asli Nusantara tetap bertahan sekalipun di bawah kekuasaan
feodalisme raja-raja Nusantara karena di banyak tempat di Nusantara, tanah
sebagai faktor produksi yang penting tidaklah dikuasai oleh raja, melainkan
dimiliki bersama oleh masyaraat desa. Karena pemilikan bersama tanah desa ini,
hasrat setiap orang untuk memanfaatkannya harus melalui persetujuan kaumnya.
Hal inilah yang mendorong tradisi gotong royong dalam memanfaatkan tanah
bersama, yang selanjutnya merembet pada bidang-bidang lainnya, termasuk pada
hal-hal kepentingan pribadi seperti misalnya membangun rumah, kenduri, dan
sebagainya. Adat hidup seperti itu membawa kebiasaan bermusyawarah menyangkut
kepentingan umum yang diputuskan secara mufakat (kata sepakat). Seperti disebut
dalam pepatah Minangkabau: “Bulek aei dek pambuluah, bulek kato dek mufakat”
(Bulat air karena pembuluh/bambu, bulat kata karena mufakat). Tradisi
musyawarah mufakat ini kemudian melahirkan institusi rapat pada tempat
tertentu, di bawah pimpinan kepala desa. Setiap orang dewasa yang menjadi warga
asli desa tersebut berhak hadir dalam rapat itu. Karena alasan pemilikan faktor
produksi bersama dan tradisi musyawarah, tradisi desa boleh saja ditindas oleh
kekuasaan feodal, namun sama sekali tidak dapat dilenyapkan, bahkan tumbuh
subur sebagai adat istiadat. Hal ini menanamkan keyakinan pada kaum pergerakan
bahwa demokrasi asli Nusantara itu kuat bertahan, “liat hidupnya”, seperti
terkandung dalam pepatah Minangkabau “indak lakang dek paneh, indak lapuak dek
ujan”, tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan (Hatta, 1992).
Ada
dua anasir lagi dari tradisi demokrasi desa yang asli nusantara, yaitu hak
untuk mengadakan protes bersama terhadap peraturan-peraturan raja yang
dirasakan tidak adil, dan hak rakyat untuk menyingkir dari daerah kekuasaan
raja, apabila ia merasa tidak senang lagi hidup di sana. Dalam melakukan
protes, biasanya rakyat secara bergerombol berkumpul di alun-alun dan duduk di
situ beberapa lama tanpa berbuat apa-apa, yang mengekspresikan suatu bentuk
demonstrasi damai. Tidak sering rakyat yang sabar melakukan itu. Namun, apabila
hal itu dilakukan, pertanda menggambarkan situasi kegentingan yang memaksa
penguasa untuk mempertimbangkan ulang peraturan yang dikeluarkannya. Adapun hak
menyingkir, dapat dianggap sebagai hak seseorang untuk menentukan nasib
sendiri. Kesemua itu menjadi bahan dasar yang dipertimbangkan oleh para pendiri
bangsa untuk mencoba membuat konsepsi demokrasi Indonesia yang modern,
bedasarkan demokrasi desa yang asli itu (Latif, 2011).
Hatta
menjelaskan bahwa Kelima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong
royong, hak mengadakan protes bersama dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan
raja, dipuja dalam lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok yang kuat bagi
demokrasi sosial, yang akan dijadikan dasar pemerinahan Indonesia merdeka di
masa datang (Latif, 2011).
2.8.2
Sumber Nilai yang Berasal dari Islam
Nilai
demokratis yang berasal dari Islam bersumber dari akar teologisnya. Inti dari
keyakinan Islam adalah pengakuan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid,
Monoteisme). Dalam keyakinan ini, hanya Tuhanlah satu-satunya wujud yang pasti.
Semua selain Tuhan, bersifat nisbi belaka. Konsekuensinya, semua bentuk
pengaturan hidup sosial manusia yang melahirkan kekuasaan mutlak, dinilai
bertentangan dengan jiwa Tauhid (Latif, 2011). Pengaturan hidup dengan
menciptakan kekuasaan mutlak pada sesama manusia merupakan hal yang tidak adil
dan tidak beradab. Sikap pasrah kepada Tuhan, yang memutlakkan Tuhan dan tidak
pada sesuatu yang lain, menghendaki tatanan sosial terbuka, adil, dan
demokratis (Madjid, 1992).
Kelanjutan
logis dari prinsip Tauhid adalah paham persamaan (kesederajatan) manusia di
hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan pemaksaan kehendak
antarsesama manusia. Bahkan seorang utusan Tuhan tidak berhak melakukan
pemaksaan itu. Seorang utusan Tuhan mendapat tugas hanya untuk menyampaikan
kebenaran (tabligh) kepada umat manusia, bukan untuk memaksakan kebenaran
kepada mereka. Dengan prinsip persamaan manusia di hadapan Tuhan itu, tiap-tiap
manusia dimuliakan kehidupan, kehormatan, hak-hak, dan kebebasannya yang dengan
kebebasan pribadinya itu manusia menjadi makhluk moral yang harus bertanggung
jawab atas pilian-pilihannya. Dengan prinsip persamaan, manusia juga didorong
menjadi makhluk sosial yang menjalin kerjasama dan persaudaraan untuk mengatasi
kesenjangan dan meningkatkan mutu kehidupan bersama (Latif, 2011).
Sejarah
nilai-nilai demokratis sebagai pancaran prinsip-prinsip Tauhid itu dicontohkan
oleh Nabi Muhammad S.A.W. sejak awal pertumbuhan komunitas politik Islam di
Madinah, dengan mengembangkan cetakan dasar apa yang kemudian dikenal sebagai
bangsa (nation). Negara-kota Madinah yang dibangun Nabi adalah sebuah entitas
politik berdasarkan konsepsi Negara-bangsa (nation-state), yaitu Negara untuk
seluruh umat atau warganegara, demi maslahat bersama (common good). Sebagaimana
termaktub dalam Piagam Madinah, “negara-bangsa” didirikan atas dasar penyatuan
seluruh kekuatan masyarakat menjadi bangsa yang satu (ummatan wahidah) tanpa
membeda-bedakan kelompok keagamaan yang ada. Robert N. Bellah menyebutkan bahwa
contoh awal nasionalisme modern mewujud dalam sistem masyarakat Madinah masa
Nabi dan para khalifah. Robert N. Bellah mengatakan bahwa sistem yang dibangun
Nabi itu adalah “a better model for modern national community building than
might be imagined” (suatu contoh bangunan komunitas nasional modern yang lebih
baik dari yang dapat dibayangkan). Komunitas ini disebut modern karena adanya
keterbukaan bagi partisipasi seluruh anggota masyarakat dan karena adanya
kesediaan para pemimpin untuk menerima penilaian berdasarkan kemampuan. Lebih
jauh, Bellah juga menyebut sistem Madinah sebagai bentuk nasionalisme yang
egaliter partisipatif (egalitarian participant nationalism). Hal ini berbeda
dengan sistem republik negara-kota Yunani Kuno, yang membuka partisipasi hanya
kepada kaum lelaki merdeka, yang hanya meliputi lima persen dari penduduk
(Latif, 2011).
Stimulus
Islam membawa transformasi Nusantara dari sistem kemasyarakatan feodalistis
berbasis kasta menuju sistem kemasyarakatan yang lebih egaliter. Transformasi
ini tercermin dalam perubahan sikap kejiwaan orang Melayu terhadap penguasa.
Sebelum kedatangan Islam, dalam dunia Melayu berkembang peribahasa, “Melayu
pantang membantah”. Melalui pengaruh Islam, peribahasa itu berubah menjadi
“Raja adil, raja disembah; raja zalim, raja disanggah”. Nilai-nilai
egalitarianisme Islam ini pula yang mendorong perlawanan kaum pribumi terhadap
sistem “kasta” baru yang dipaksakan oleh kekuatan kolonial (Wertheim, 1956).
Dalam pandangan Soekarno (1965), pengaruh Islam di Nusantara membawa
transformasi masyarakat feodal menuju masyarakat yang lebih demokratis. Dalam
perkembangannya, Hatta juga memandang stimulus Islam sebagai salah satu sumber
yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial di kalbu para pemimpin pergerakan
kebangsaan.
2.8.3
Sumber Nilai yang Berasal dari Barat
Masyarakat
Barat (Eropa) mempunyai akar demokrasi yang panjang. Pusat pertumbuhan
demokrasi terpenting di Yunani adalah kota Athena, yang sering dirujuk sebagai
contoh pelaksanaan demokrasi patisipatif dalam negara-kota sekitar abad ke-5
SM. Selanjutnya muncul pula praktik pemerintahan sejenis di Romawi, tepatnya di
kota Roma (Italia), yakni sistem pemerintahan republik. Model pemerintahan
demokratis model Athena dan Roma ini kemudian menyebar ke kotakota lain
sekitarnya, seperti Florence dan Venice. Model demokrasi ini mengalami
kemunduran sejak kejatuhan Imperium Romawi sekitar abad ke-5 M, bangkit sebentar
di beberapa kota di Italia sekitar abad ke-11 M kemudian lenyap pada akhir
“zaman pertengahan” Eropa. Setidaknya sejak petengahan 1300 M, karena
kemunduran ekonomi, korupsi dan peperangan, pemerintahan demokratis di Eropa
digantikan oleh sistem pemerintahan otoriter (Dahl, 1992).
Pemikiran-pemikiran
humanisme dan demokrasi mulai bangkit lagi di Eropa pada masa Renaissance
(sekitar abad ke-14 – 17 M), setelah memperoleh stimuls baru, antara lain, dari
peradaban Islam. Tonggak penting dari era Renaissance yang mendorong
kebangkitan kembali demokrasi di Eropa adalah gerakan Reformasi Protestan sejak
1517 hingga tercapainya kesepakatan Whestphalia pada 1648, yang meletakan
prinsip co-existence dalam hubungan agama dan Negara—yang membuka jalan bagi
kebangkitan Negara-bangsa (nation-state) dan tatanan kehidupan politik yang
lebih demokratis.
Kehadiran
kolonialisme Eropa, khususnya Belanda, di Indonesia, membawa dua sisi dari koin
peradaban Barat: sisi represi imperialisme-kapitalisme dan sisi
humanisme-demokratis. Penindasan politik dan penghisapan ekonomi oleh
imperialisme dan kapitalisme, yang tidak jarang bekerjasama dengan
kekuatankekuatan feodal bumi putera, menumbuhkan sikap anti-penindasan,
anti-penjajahan, dan anti-feodalisme di kalangan para perintis kemerdekaan
bangsa. Dalam melakukan perlawanan terhadap represi politik-ekonomi kolonial
itu, mereka juga mendapatkan stimulus dari gagasan-gagasan humanisme-demokratis
Eropa (Latif, 2011).
Penyebaran
nilai-nilai humanisme-demokratis itu menemukan ruang aktualisasinya dalam
kemunculan ruang publik modern di Indonesia sejak akhir abad ke-19. Ruang
publik ini berkembang di sekitar institusi-institusi pendidikan modern,
kapitalisme percetakan, klub-klub sosial bergaya Eropa, kemunculan bebagai
gerakan sosial (seperti Boedi Oetomo, Syarekat Islam dan lan-lain) yang
berujung pada pendrian partai-partai politik (sejak 1920-an), dan kehadiran
Dewan Rakyat (Volksraad) sejak 1918.
Sumber
inspirasi dari anasir demokrasi desa, ajaran Islam, dan sosiodemokrasi Barat,
memberikan landasan persatuan dari keragaman., Segala keragaman
ideologi-politik yang dikembangkan, yang bercorak keagamaan maupun sekuler,
semuanya memiliki titik-temu dalam gagasan-gagasan demokrasi sosialistik
(kekeluargaan), dan secara umum menolak individualisme.
Dalam
kurun sejarah Indonesia merdeka sampai sekarang ini, ternyata pelaksanaan
demokrasi mengalami dinamikanya. Indonesia mengalami praktik demokrasi yang
berbeda-beda dari masa ke masa. Beberapa ahli memberikan pandangannya.
Misalnya, Budiardjo (2008) menyatakan bahwa dari sudut perkembangan sejarah
demokrasi Indonesia sampai masa Orde Baru dapat dibagi dalam empat masa, yaitu:
1. Masa
Republik Indonesia I (1945-1959) yang dinamakan masa demokrasi konstitusional
yang menonjolkan peranan parlemen dan partai-partai, karena itu dinamakan
Demokrasi Parlementer;
2. Masa
Republik Indonesia II (1959-1965) yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang banyak
penyimpangan dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan
landasan dan penunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat;
3. Masa
Republik Indonesia III (1965-1998) yaitu masa demokrasi Pancasila. Demokrasi
ini merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensil; dan
4. Masa
Republik Indonesia IV (1998-sekarang) yaitu masa reformasi yang menginginkan
tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik
politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia III.
2.9 Dinamika dan Tantangan
Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
Sepanjang
sejarah Indonesia pernah mengalami dinamika ketatanegaraan seiring dengan
berubahnya konstitusi yang dimulai sejak berlakunya UUD 1945 (I), Konstitusi
RIS 1949, UUDS 1950, kembali ke UUD 1945 (II) dan akhirnya kita telah berhasil
mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Ihwal postur demokrasi kita dewasa
ini dapat kita amati dari fungsi dan peran lembaga permusyawaratan dan
perwakilan rakyat menurut UUD NRI Tahun 1945, yakni Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Untuk
memahami dinamika dan tantangan demokrasi kita itu, Anda diminta untuk
membandingkan aturan dasar dalam naskah asli UUD 1945 dan bagaimana
perubahannya berkaitan dengan MPR, DPR, dan DPD (Asshiddiqie dkk, 2008).
2.9.1
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Amandemen
UUD 1945 dilakukan pula terhadap ketentuan tentang lembaga permusyawaratan
rakyat, yakni MPR. Sebelum dilakukan perubahan, MPR merupakan lembaga tertinggi
negara. Setelah dilakukan perubahan, maka terjadilah perubahan secara mendasar
dalam sistem ketatanegaraan. Perubahan dari sistem vertikalhierarkis dengan
prinsip supremasi MPR menjadi sistem yang horizontalfundamental dengan prinsip
checks and balances (saling mengawasi dan mengimbangi) antarlembaga negara.
Dalam kaitan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung,
timbul kewenangan baru bagi MPR, yakni melantik Presiden dan Wakil Presiden
(Pasal 3 Ayat (2) UUD 1945). Kewenangan lain yang muncul berdasarkan ketentuan
Pasal 3 Ayat (3) UUD 1945 adalah MPR berwenang memberhentikan presiden dan/atau
wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Kewenangan MPR lainnya diatur
pula dalam Pasal 8 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945. Pasal tersebut mengatur
tentang pengisian lowongan jabatan presiden dan wakil presiden secara
bersama-sama atau bilamana wakil presiden berhalangan tetap.
2.9.2
Dewan Perwakilan Rakyat
Dalam
upaya mempertegas pembagian kekuasaan dan menerapkan prinsip saling mengawasi
dan mengimbangi yang lebih ketat dan transparan, maka ketentuan mengenai DPR
dilakukan perubahan.Dalam upaya mempertegas pembagian kekuasaan dan menerapkan
prinsip saling mengawasi dan mengimbangi yang lebih ketat dan transparan, maka
ketentuan mengenai DPR dilakukan perubahan.
Perubahan
yang terjadi pada Dewan Perwakilan Rakyat adalah penambahan ketentuan mengenai
pemilihan anggota DPR. Dua ketentuan lainnya, yakni susunan dan masa sidang DPP
tetap tidak berubah.
Menurut
ketentuan Pasal 20 A Ayat (1) UUD 1945 fungsi DPR ada tiga, yaitu fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Mari kita pahami ketiga fungsi
tersebut. (1) Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk undang-undang yang
dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. (2) Fungsi anggaran
adalah fungsi menyusun dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara
bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD. (3) Fungsi pengawasan
adalah fungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang, dan peraturan
pelaksanaannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 A Ayat (2) DPR mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Mari kita perhatikan apa
makna dari ketiga hak DPR tersebut. (1) Hak interpelasi adalah hak DPR untuk
meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting
dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
(2) Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan
pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. (3) Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga
untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian
luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional.
Penyampaian hak ini disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai
tindak lanjut pelaksanaan: hak interpelasi, hak angket, dan terhadap dugaan
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya
atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Di
samping DPR, anggota DPR juga mempunyai hak tertentu. Hak-hak anggota DPR
tersebut adalah ; Mengajukan rancangan undang-undang.; Mengajukan pertanyaan;
Menyampaikan usul dan pendapat; Memilih dan dipilih ; Membela diri; Imunitas;
dan Protokoler; Keuangan; dan administratif.
2.9.3 Dewan Perwakilan
Daerah
Ketentuan
mengenai Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan hal baru dalam UUD 1945.
Ketentuan ini diatur dalam bab tersendiri dan terdiri atas dua pasal, yaitu
Pasal 22 C dengan 4 ayat dan Pasal 22 D dengan 4 ayat.
Sistem
perwakilan di Indonesia merupakan sistem yang khas. Sebab di samping terdapat
DPR sebagai lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi rakyat, juga ada DPD
sebagai lembaga penampung aspirasi daerah. Demikianlah dinamika yang terjadi
dengan lembaga permusyawaratan dan perwakilan di negara kita yang secara
langsung mempengaruhi kehidupan demokrasi. Dinamika ini tentu saja kita
harapkan akan mendatangkan kemaslahatan kepada semakin sehat dan dinamisnya
Demokrasi Pancasila yang tengah melakukan konsolidasi menuju demokrasi yang
matang (maturation democracy). Hal ini merupakan peluang dan sekaligus
tantangan bagi segenap komponen bangsa.
2.10 Esensi dan Urgensi Demokrasi
Pancasila
2.10.1
Kehidupan Demokratis yang Harus Dikembangkan
Demokrasi
itu selain memiliki sifat yang universal, yakni diakui oleh seluruh
bangsa-bangsa yang beradab di seluruh dunia, juga memiliki sifat yang khas dari
masing-masing negara. Sifat khas demokrasi di setiap negara biasanya tergantung
ideologi masing-masing. Demokrasi kita pun selain memiliki sifat yang
universal, juga memiliki sifat khas sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang
berdasarkan Pancasila.
Sebagai
demokrasi yang berakar pada budaya bangsa, kehidupan demokratis yang kita
kembangkan harus mengacu pada landasan idiil Pancasila dan landasan
konstitusional UD NRI Tahun 1945. Berikut ini diketengahkan “Sepuluh Pilar
Demokrasi Pancasila” yang dipesankan oleh para pembentuk negara RI, sebagaimana
diletakkan di dalam UUD NRI Tahun 1945 (Sanusi, 1998).
Pilar-pilar
demokrasi Pancasila dan maksud esensinya dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Demokrasi
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maksud esensinya adalah Seluk beluk sistem
serta perilaku dalam menyelenggarakan kenegaraan RI harus taat asas, konsisten,
atau sesuai dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Demokrasi
dengan kecerdasan, maksud esensinya adalah Mengatur dan menyelenggarakan
demokrasi menurut UUD 1945 itu bukan dengan kekuatan naluri, kekuatan otot,
atau kekuatan massa semata-mata. Pelaksanaan demokrasi itu justru lebih
menuntut kecerdasan rohaniah, kecerdasan aqliyah, kecerdasan rasional, dan
kecerdasan emosional.
3. Demokrasi
yang berkedaulatan rakyat, maksud esensinya adalah Kekuasaan tertinggi ada di
tangan rakyat. Secara prinsip, rakyatlah yang memiliki/memegang kedaulatan itu.
Dalam batas-batas tertentu kedaulatan rakyat itu dipercayakan kepada
wakil-wakil rakyat di MPR (DPR/DPD) dan DPRD.
4. Demokrasi
dengan Rule of Law, maksud esensinya
adalah Kekuasaan negara RI itu harus mengandung, melindungi, serta
mengembangkan kebenaran hukum (legal truth) bukan demokrasi ugal-ugalan,
demokrasi dagelan, atau demokrasi manipulatif. Kekuasaan negara itu memberikan
keadilan hukum (legal justice) bukan demokrasi yang terbatas pada keadilan
formal dan pura-pura. Kekuasaan negara itu menjamin kepastian hukum (legal
security) bukan demokrasi yang membiarkan kesemrawutan atau anarki. Kekuasaan
negara itu mengembangkan manfaat atau kepentingan hukum (legal interest),
seperti kedamaian dan pembangunan, bukan demokrasi yang justru memopulerkan
fitnah dan hujatan atau menciptakan perpecahan, permusuhan, dan kerusakan.
5.
Demokrasi dengan pembagian
kekuasaan, maksud esensinya adalah Demokrasi menurut UUD 1945 bukan saja
mengakui kekuasaan negara RI yang tidak tak terbatas secara hukum, melainkan
juga demokrasi itu dikuatkan dengan pembagian kekuasaan negara dan diserahkan
kepada badan-badan negara yang bertanggung jawab. Jadi, demokrasi menurut UUD
1945 mengenal semacam division and
separation of power, dengan check and balance.
6. Demokrasi
dengan hak asasi manusia, maksud esensinya adalah Demokrasi menurut UUD 1945
mengakui hak asasi manusia yang tujuannya bukan saja menghormati hak-hak asasi
tersebut, melainkan terlebih-lebih untuk meningkatkan martabat dan derajat
manusia seutuhnya.
7. Demokrasi
dengan pengadilan yang merdeka, maksud esensinya adalah Demokrasi menurut UUD
1945 menghendaki diberlakukannya sistem pengadilan yang merdeka (independen)
yang memberi peluang seluas-luasnya kepada semua pihak yang berkepentingan
untuk mencari dan menemukan hukum yang seadil-adilnya. Di muka pengadilan yang
merdeka, penggugat dengan pengacaranya, penuntut umum dan terdakwa dengan
pengacaranya mempunyai hak yang sama untuk mengajukan konsiderans, dalil-dalil,
fakta-fakta, saksi, alat pembuktian, dan petitumnya.
8. Demokrasi
dengan otonomi daerah, maksud esensinya adalah Otonomi daerah merupakan
pembatasan terhadap kekuasaan negara, khususnya kekuasaan legislatif dan
eksekutif di tingkat pusat, dan lebih khusus lagi pembatasan atas kekuasaan
Presiden. UUD 1945 secara jelas memerintahkan dibentuknya daereah-daerah otonom
besar dan kecil, yang ditafsirkan daerah otonom I dan II. Dengan Peraturan
Pemerintah daerah-daerah otonom itu dibangun dan disiapkan untuk mampu mengatur
dan menyelenggarakan urusanurusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya
sendiri yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepadanya.
9. Demokrasi
dengan kemakmuran, maksud esensinya adalah Demokrasi tu bukan hanya soal
kebebasan dan hak, bukan hanya soal kewajiban dan tanggung jawab, bukan pula
hanya soal mengorganisir kedaulatan rakyat atau pembagian kekuasaan kenegaraan.
Demokrasi itu bukan pula hanya soal otonomi daerah dan keadilan hukum. Sebab
bersamaan dengan itu semua, jika dipertanyakan “where is the beef ?”, demokrasi
menurut UUD 1945 itu ternyata ditujukan untuk membangun negara kemakmuran
(Welvaarts Staat) oleh dan untuk sebesar-besarnya rakyat Indonesia.
10. Demokrasi
yang berkeadilan sosial, maksud esensinya adalah Demokrasi menurut UUD 1945
menggariskan keadilan sosial di antara berbagai kelompok, golongan, dan lapisan
masyarakat. Tidak ada golongan, lapisan, kelompok, satuan, atau organisasi yang
menjadi anak emas, yang diberi berbagai keistimewaan atau hak-hak khusus.
2.10.2
Pentingnya Kehidupan yang Demokratis
Pada
hakikatnya sebuah negara dapat disebut sebagai negara yang demokratis, apabila
di dalam pemerintahan tersebut rakyat memiliki kesempatan untuk berpartisipasi
dalam pembuatan keputusan, memiliki persamaan di muka hukum, dan memperoleh
pendapatan yang layak karena terjadi distribusi pendapatan yang adil. Berikut ini
adalah uraian dari masing-masing pernyataan tersebut.
A. Partisipasi
dalam Pembuatan Keputusan
Dalam
negara yang menganut sistem pemerintahan, demokrasi kekuasaan tertinggi berada
di tangan rakyat dan pemerintahan dijalankan berdasarkan kehendak rakyat. Aspirasi
dan kemauan rakyat harus dipenuhi dan pemerintahan dijalankan berdasarkan
konstitusi yang merupakan arah dan pedoman dalam melaksanakan hidup bernegara.
Para pembuat kebijakan memperhatikan seluruh aspirasi rakyat yang berkembang.
Kebijakan yang dikeluarkan harus dapat mewakili berbagai keinginan masyarakat
yang beragam. Sebagai contoh ketika masyarakat kota tertentu resah dengan
semakin tercemarnya udara oleh asap rokok yang berasal dari para perokok, maka
pemerintah kota mengeluarkan peraturan daerah tentang larangan merokok di
tempat umum.
B. Persamaan
Kedudukan di Depan Hukum
Seiring
dengan adanya tuntutan agar pemerintah harus berjalan baik dan dapat mengayomi
rakyat dibutuhkan adanya hukum. Hukum itu mengatur bagaimana seharusnya
penguasa bertindak, bagaimana hak dan kewajiban dari penguasa dan juga
rakyatnya. Semua rakyat memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Artinya,
hukum harus dijalankan secara adil dan benar. Hukum tidak boleh pandang bulu.
Siapa saja yang bersalah dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk
menciptakan hal itu harus ditunjang dengan adanya aparat penegak hukum yang
tegas dan bijaksana, bebas dari pengaruh pemerintahan yang berkuasa, dan berani
menghukum siapa saja yang bersalah.
C. Distribusi
Pendapatan Secara Adil
Dalam negara
demokrasi, semua bidang dijalankan dengan berdasarkan prinsip keadilan bersama
dan tidak berat sebelah, termasuk di dalam bidang ekonomi. Semua warga negara
berhak memperoleh pendapatan yang layak. Pemerintah wajib memberikan bantuan
kepada fakir dan miskin yang berpendapatan rendah. Akhirakhir ini Pemerintah
menjalankan program pemberian bantuan tunai langsung, hal tersebut dilakukan
dalam upaya membantu langsung para fakir miskin. Pada kesempatan lain,
Pemerintah terus giat membuka lapangan kerja agar masyarakat bisa memperoleh
penghasilan. Dengan program-program tersebut diharapkan terjadi distribusi
pendapatan yang adil di antara warga negara Indonesia. Berdasarkan uraian di
atas dapat dipahami bahwa kehidupan demokratis penting dikembangkan dalam berbagai
kehidupan, karena seandainya kehidupan yang demokratis tidak terlaksana, maka
asas kedaulatan rakyat tidak berjalan, tidak ada jaminan hak-hak asasi manusia,
tidak ada persamaan di depan hukum. Jika demikian, tampaknya kita akan semakin
jauh dari tujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
2.10.3
Penerapan Demokrasi dalam Pemilihan Pemimpin Politik dan Pejabat Negara
Seorang
wanita tua menghadap Sultan Sulaiman al-Qanuni untuk mengadu bahwa tentara
sultan mencuri ternak dombanya ketika dia sedang tidur. Setelah mendengar
pengaduan itu, Sultan Sulaiman berkata kepada Wanita itu, “Seharusnya kamu
menjaga ternakmu dan jangan tidur”. Mendengar perkataan tersebut wanita tua itu
mejawab, “Saya mengira baginda menjaga dan melindungi kami sehingga aku tidur
dengan aman” (Hikmah Dalam Humor, Kisah, dan Pepatah, 1998).
Kisah
di atas menunjukkan contoh pemimpin yang lemah, yakni pemimpin yang tidak mampu
melindungi rakyatnya. Seorang pemimpin memang harus yang memiliki kemampuan
memadai, sehingga ia mampu melindungi dan mengayomi rakyatnya dengan baik. Oleh
karena itu, seorang pemimpin harus memenuhi syaratsyarat tertentu. Berdasarkan
sistem demokrasi yang kita anut seorang pemimpin itu harus beriman dan bertawa,
bermoral, berilmu, terampil, dan demokratis.
A. Karakter
Seorang Pemimpin yang Beriman dan Bertaqwa
Sikap terbaik jika memperoleh kepercayaan adalah
mensyukurinya, sebab selain tidak banyak orang yang memperoleh kepercayaan
seperti itu, juga pada hakikatnya merupakan nikmat dari Tuhan. Salah satu cara
untuk bersyukur adalah selalu ingat akan tugas kepemimpinan yang diembannya,
yakni memimpin umat mencapai tujuan dengan ridha Tuhan. Apabila ia beriman dan
bertakwa maka tugas-tugas kepemimpinannya itu akan disyukuri sebagai amanah dan
sebagai kewajiban mulia agar mampu dilaksanakan dengan baik.
B. Bermoral
Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima
umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Istilah lain untuk
moral adalah akhlak, budi pekerti, susila. Bermoral berarti mempunyai
pertimbangan baik buruk. Pemimpin yang bermoral berarti pemimpin yang berakhlak
baik. Bagi kita yang terpenting adalah mampu mengambil hikmah dari sejumlah
kejadian yang menimpa para pemimpin yang lalim dan tidak bermoral. Sejarah
mencatat semua pemimpin yang zalim dan tidak bermoral tidak mendatangkan
kesejahteraan bagi rakyatnya. Sedang ia sendiri di akhir hayatnya memperoleh
kehinaan dan derita. Amangkurat I, misalnya meninggal di tempat pelarian dengan
amat mengenaskan. Raja Louis XVI raja yang amat “tiran” dari Prancis, mati digouletin (pisau pemotong hewan) oleh
massa, Adolf Hitler seorang diktator dari Jerman meninggal dengan cara meminum
racun. Oleh karena itu, tidak ada guna dan manfaatnya sama sekali dari seorang
pemimpin yang demikian itu. Jadilah pemimpin yang bermoral, berakhlak, dan
berbudi pekerti luhur yang dapat memberi kemaslahatan bagi rakyat. Syarat lain
bagi seorang pemimpin adalah berilmu, terampil, dan demokratis.
2.11 Pendidikan Demokrasi
Menurut
Syarbaini (2014:83), sistem pengorganisasian negara dalam demokrasi dilakukan
oleh rakyat atau atas persetujuan rakyat, yang mengandung aspek-aspek sebagai
berikut.
a.
Formal;
dalam
demokrasi terkandung bagaimana cara partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
b.
Material;
dalam
demokrasi, pengakuan atas harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Kuasa menghendaki pemerintah untuk membahagiakan warga negara.
c.
Kaidah;
demokrasi
mengikat negara dan warga negara dalam bertindak dan menyelenggarakan hak dan kewajiban
serta wewenangnya.
d.
Tujuan;
demokrasi
membawa rakyatnya kepada masyarakat sejahtera.
e.
Organisasi;
demokrasi
juga menetapkan struktur organisasi mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.
f.
Semangat;
dalam
demokrasi terdapat semangat. Semangat itu adalah nilai-nilai yang terkandung
ideology negara yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Menurut
Syarbaini (2014:84), demokrasi telah menjadi bagian dalam kehidupan
sehari-hari, namun belum tentu setiap orang dan warga negara telah mau
menampilkan perilaku demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Penampilan budaya
demokrasi diperlukan adanya kemauan untuk memahami nilai-nilai demokrasi dan
membiasakannya dalam praktik kehidupan.
a. Pendidikan
Demokrasi
1. Pendidikan
demokrasi secara formal, yaitu pendidikan yang melewati tatp muka, diskusi
timbale balik, presentasi, studi kasus untuk memberikan gambaran kepada siswa
agar supaya mempunyai kemampuan untuk cinta negara dan bangsa. Pendidikan
formal biasanya dilakukan di sekolah atau di perguruan tinggi.
2. Pendidikan
demokrasi secara informal, yaitu pendidikan yang melewati tahap pergaulan di
rumah maupun masyarakat, sebagai bentuk aplikasi nilai berdemokrasi sebagai
hasil interaksi terhadap lingkungan sekitarnya, langsung dapat dirasakan hasilnya.
3. Pendidikan
nonformal, yaitu pendidikan melewati tahap di luar lingkungan masyarakat lebih
makro dalam berinteraksi sebab pendidikan di luar sekolah mempunyai variabel
maupun parameter yang signifikan terhadap pembentukan jiwa seseorang.
b. Visi
Pendidikan Demokrasi
Sebagai wahana substantis, pedagogis, dan social
cultural untuk membangun cita-cita, nilai konsep, prinsip, sikap, dan
keterampilan demokrasi dalam diri warga negara melalui pengalaman hidup dan
berkehidupan demokrasi dalam berbagai konteks.
c. Misi
Pendidikan Demokrasi
Memfasilitasi warga negara untuk mendapatkan
berbagai akses kepada dan menggunakan secara cerdas berbagai sumber informasi
tentang demokrasi dalam teori dan praktik untuk berbagai konteks kehidupan
sehingga memiliki wawasan yang luas dan memadai.
Pendidikan
demokrasi merupakan suatu proses untuk melaksanakan demokrasi yang benar,
sehingga sasaran yang akan dicapai adalah mengajak warga negara, terutama
mahasiswa pada umumnya untuk melaksanakan pendidikan ini secara baik dan benar.
Proses semacam ini mempunyai implikasi yang sangat signifikan terhadap cara
berdemokrasi yang baik dan benar dengan memperhatikan kaidah-kaidah maupun asas
dalam berdemokrasi masyarakat. Pemilu sebagai salah satu wujud demokrasi.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Demokrasi
berasal dari dua kata “demos” yang
berarti rakyat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau
kedaulatan. “Demos cratos” atau “demos cratein” dalam bahasa Yunani yang
berarti demokrasi dalam bahasa Indonesia adalah kedaulatan rakyat atau
kekuasaan berada di tangan rakyat.
Sistem
demokrasi dilaksanakan dengan cara yang berbeda-beda antara negara satu dengan
negara lainnya. Hal ini disebabkan oleh sejarah suatu negara tersebut,
pandangan hidup negara tersebut, dan cita-cita dari negara tersebut. Begitu
halnya dengan negara Indonesia, negara Indonesia menggunakan sistem demokrasi
yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945. Demokrasi di negara Indonesia
melalui beberapa perkembangan yang dapat dibagi menjadi empat periode yaitu:
periode 1945-1959, periode 1959-1965, periode 1966-1998, dan periode
1999-sekarang. Pada dasarnya, meskipun sistem demokrasi di Indonesia telah
berkembang hingga dapat dibagi menjadi empat periode, sistem demokrasi di
Indonesia masih juga belum menemui titik cerah. Dari periode pertama sampai
periode sekarang ini, sistem demokrasi di Indonesia masih belum dapat
meminimumkan kelemahan-kelemahannya. Pada periode 1999-sekarang, yang dianggap
menjadi periode kebangkitan di mana pada masa ini peran partai politik kembali
menonjol sehingga iklim demokrasi memperoleh nafas baru, ternyata masih juga
memiliki kelemahan yang cukup mendasar. Secara singkatnya, demokrasi adalah
kekuasaan di tangan rakyat, maka praktik demokrasi tatkala pemilu memang
demikian, namun dalam pelaksanaannya setelah pemilu, banyak kebijakan yang
tidak mendasarkan pada kepentingan rakyat, melainkan lebih kea rah pembagian
kekuasaan antara presiden dan partai politik dalam DPR. Dengan perkataan lain
model demokrasi era reformasi, kurang mendasarkan pada keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia (walfare state).
Demokrasi
di Indonesia selulu mengalami perkembangan dan perubahan. Di samping
perkembangan dan perubahan, perlu juga diperhatikan bahwa demokrasi di
Indonesia memiliki banyak tantangan. Tantangan-tantangan ini dapat dihindari
ketika seluruh rakyat Indonesia memiliki kemauan yang tinggi untuk berusaha
menanamkan jiwa demokratis, salah satunya dengan pendidikan demokrasi yang
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Demokrasi
mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab dengan
demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara
dijamin. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah
demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara
operasional implikasinya di berbagai negara tidak selalu sama. Sekedar untuk
menunjukkan betapa rakyat diletakkan pada posisi penting dalam asas demokrasi.
3.2 Saran
Negara
Indonesia telah menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem
demokrasi yang berlandaskan Pancasila. Tidak ada yang salah dengan kata
demokrasi, bahkan negara-negara di dunia begitu mendambakan demokrasi. Hanya
saja ketika demokrasi ini diterapkan, masih belum menggambarkan adanya suatu
usaha yang sinkron dan maksimal dari berbagai pihak. Sebagai warga negara yang
baik, ketika telah mengetahui bahwa sistem demokrasi diterapkan di negaranya,
sudah seharusnya tindakan dan perilaku warga negara mencerminkan demokrasi yang
penuh tanggung jawab. Sistem demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia melalui
lembaga-lembaga perwakilan. Lembaga-lembaga perwakilan tersebut dipilih secara
langsung oleh rakyat, sehingga sudah sepatutnya bahwa anggota dari
lembaga-lembaga perwakilan bercermin bahwa jabatan yang mereka emban merupakan
amanah dari rakyat untuk dijalankan sebaik mungkin dengan tujuan kesejahteraan.
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Jember. 2012. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Edisi Ketiga.
Jember: Jember University Press.
Kementrian Riset, Tekonologi, dan
Pendidikan Tinggi. 2014. PKn MKWU 2014
PDF Jurnal. Jakarta: Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Budimansyah,
D. & Sudirwo, D. 2009. Pendidikan
Kewarganegaraan pada Perguruan Tinggi. Bandung: C.V. Randu Alas.
Rahayu,
A. S. 2013. Pendidikan Pancasila &
Kewarganegaraan (PPKn). Jakarta: Bumi Aksara.
Srijanti,
Rahman, A., dan Purwanto. 2011. Pendidikan
Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta: Salemba Empat.
Syarbaini,
S. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan untuk
Perguruan Tinggi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
No comments:
Post a Comment